life. art. crazy mind. whatever

Jumat, 11 Oktober 2013

Sudah Belajar, Praktek, Yuk?



Apa yang diharapkan dari pelajar ketika telah mempelajari teori-teori di kelas?
Tentu mempraktekkannya dengan baik, bukan?
Nah, pelajaran inilah yang didapat dari kelas teknik wawancara minggu yang lalu. Minggu lalu, dengan bantuan Bu Henny, kelas kami kedatangan 3 orang praktisi HRD dari berbagai macam perusahaan. Apa saja sih yang mereka bagi pada kami?
Pada dasarnya sih, apa yang dikatakan oleh 3 orang tersebut tidak jauh berbeda.
Mereka memberi masukan-masukan mengenai implementasi teori-teori psikologi pada kehidupan sehari-hari serta keuntungan mempelajari teori-teori psikologi dalam dunia kerja.
Pelajaran yang pertama yaitu “untuk membuat roti, perlu tahu bahan dan teknik membuatnya dengan tepat”.
Maksudnya adalah, dalam dunia HRD, ketika kita bekerja dalam recruitment, yang perlu kita tahu adalah individu dengan kriteria apa yang kita butuhkan dalam sistem untuk kita rekrut ke dalam perusahaan kita.
Seperti membuat roti, bila bahan dan teknik membuatnya pas, roti akan mengembang sempurna, namun, apabila kita salah memasukkan bahan, maka roti dapat menjadi gagal.
Yang kedua yaitu sikap mau belajar.
Dunia kerja adalah dunia yang sama sekali baru dari dunia sekolah.
Untuk itu, kita perlu mempelajari lagi hal-hal baru seperti sistem kerja perusahaan, fungsi-fungsi tiap unit dalam kantor, dan hal-hal lainnya, khususnya yang bersifat praktikal.
Pengetahuan kita tentu saja akan berguna dalam dunia rekrutmen serta dapat digunakan untuk mengatasi konflik-konflik yang terjadi di kantor.
Yang ketiga adalah belajar untuk berpikir kritis dengan menggunakan teori-teori psikologi yang telah dipelajari selama kuliah untuk melihat individu lebih baik.
Dalam proses wawancara (terutama dalam rekrutmen), seringkali individu tidak berbicara apa adanya dan cenderung menutupi kekurangan.
Nah, dengan bekal teori yang seharusnya membantu kita meningkatkan kepekaan kita, kita harus bisa berpikir lebih kritis untuk mencegah kesalahan penilaian akibat individu yang berbicara tidak apa adanya.
Selain itu, skill observasi juga digunakan untuk melihat bahasa tubuh orang lain.
Sekian rangkuman sharing dari kakak-kakak senior. Semoga membantu!

Kamis, 03 Oktober 2013

What is The Root of All Evil?


Dari manakah asalnya kejahatan?
Dari kacamata politik orang akan menjawab uang dan kekuasaan,
dari kalangan agama orang akan menjawab kurangnya iman,
atau dari kalangan aktivis mungkin menjawab adanya sumber daya mengenai benda-benda yang dapat menghancurkan seperti senjata api atau benda-benda penghancur masal.
Nah, pertanyaan selanjutnya adalah, apakah bila uang, jabatan kekuasaan, dogma-dogma agama, atau senjata dihilangkan dari kehidupan, apakah kejahatan dan perilaku saling menyakiti antar umat manusia akan hilang? Tentu saja tidak!
Dogma-dogma agama selalu mengajarkan bahwa pada dasarnya setiap orang itu baik, setiap orang itu mampu mencinta sehingga banyak orang lupa bahwa setiap manusia memiliki bakat untuk menjadi jahat, seperti halnya menjadi baik.
Menurut tokoh psikoanalisis Freud (Feist & Feist, 2009), manusia memiliki 2 insting utama yaitu eros dan thanatos.
Eros merupakan insting kehidupan manusia seperti cinta, seks, dan perilaku altruisme,
sedangkan thanatos adalah insting kematian seperti agresifitas yang termanifest dalam perilaku-perilaku saling menyakiti antar sesama manusia seperti pembunuhan, perang, dan bullying.
Proses sosialisasi dan pendidikan (terutama di Indonesia) yang banyak menekankan pada moral dan tata krama membuat manusia enggan menyadari insting thanatos dalam diri mereka dan cenderung menyalahkan orang lain.
Masih ingat peristiwa kecelakaan Dul, anak dari pemusik Ahmad Dhani yang tidak mau mengakui kesalahan sendiri dan malah mencari-cari kesalahan pada pembatas jalan atau adanya kecacatan pada bahu jalan?
Atau kasus Ahmad Fathanah yang mengaku taat beragama namun terbukti melakukan korupsi dan tertangkap sedang melakukan hubungan seksual dengan seorang mahasiswi?
Masih banyak contoh-contoh lain yang membuat sebagian orang bertanya-tanya, kok bisa ya? Dia kan alim atau dia kan rajin beribadah? Nahloh.
Seorang tokoh psikoanalisis yahudi Carl Gustav Jung (dalam Feist & Feist, 2009) menyebut kondisi manusia yang demikian sebagai shadow.
Menurut Jung, shadow adalah simbol yang merepresentasikan sisi gelap manusia.
Jung, lebih lanjut melihat bahwa ternyata lebih mudah memproyeksikan sisi gelap seseorang kepada orang lain daripada mengakui hal itu merupakan keburukan dan kejahatan yang bersumber dari dalam diri manusia sendiri.
Jadi, ketika seseorang melakukan kesalahan, orang tersebut cenderung lebih mudah untuk menyalahkan orang lain atau keadaan ketimbang menyadari kelemahan sendiri.
Jung menemukan bahwa orang yang tidak mau menghadapi sisi gelapnya sendiri akan terpuruk dalam sisi gelapnya sendiri dan mengalami kehidupan yang tidak menyenangkan.
Jadi, dari manakah asalnya kejahatan? Dari dalam diri setiap manusia.
apakah kejahatan dalam diri manusia dapat dihilangkan? Tidak.
Agama dan segala pendidikan moral tidak mampu menghapus segala kejahatan di muka dunia.
Mereka ada karena memang ada, mereka ada karena pada dasarnya kehidupan adalah perpaduan antara hitam dan putih.
Kehidupan membutuhkan keseimbangan.
Putih tidak lebih baik daripada hitam, dan hitam tidak lebih baik daripada putih.
Jadi, gunakan akal dan kesadaran. kenali diri sendiri.
Karena hanya dengan memahami diri sendiri, seseorang mampu memahami bahwa musuh terbesar manusia adalah ada di dalam dirinya sendiri.

Kamis, 19 September 2013

Every People Has a Social History, Including You

Ketika seseorang bertemu orang lain biasanya yang pertama kali diperhatikan adalah penampilan, cara berpakaian, cara berdandan, setelah itu barulah perilaku dan cara bicara.
Ketika anda bertemu orang lain secara naluriah anda akan menilai orang tersebut dari atribut-atribut yang dikenakan orang tersebut.
Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa orang-orang memiliki kecenderungan untuk berpenampilan dan berperilaku tertentu? Dalam teknik wawancara, untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu mengetahui social history.
setiap orang di dunia ini pasti memiliki sejarah dalam hidupnya. Semakin dewasa individu, semakin banyak dan kompleks kehidupan dan sejarah kehidupannya. Sejarah hidup setiap orang berbeda-beda menjadikan setiap pribadi di dunia ini memiliki kesamaan namun sekaligus perbedaan dengan orang lain yang membuat setiap individu unik. Paradoks yang lucu, ya?
setiap sejarah kehidupan membentuk kepribadian dan perilaku tertentu. Ada yang adaptif (terjadi pada individu-individu yang sehat mental), namun ada juga yang berkembang menjadi maladaptif (terjadi pada individu-individu yang mengalami gangguan mental).
Seperti yang telah saya kemukakan sebelumnya, jika berbicara perkembangan, maka kita harus mengacu pada nature versus nurture. Perilaku dan kepribadian yang dimiliki oleh individu merupakan hasil dari proses panjang biologis di dalam otak dan tubuh serta stimulus dari lingkungan.
Proses ini akah selalu berlangsung dalam hidup manusia. Untuk itu, untuk mengetahui sejarah kehidupan individu, anda perlu mengetahui lingkungan keluarga, pendidikan, pekerjaan, pernikahan, sejarah medis, hingga status hukum individu tersebut. setelah mengetahui latar belakang individu secara lengkap, anda akan lebih memahami diri sendiri dan orang lain.
Cara yang paling mudah adalah memulai untuk menganalisis diri sendiri terlebih dahulu. Mulailah dengan mengenal diri sendiri terlebih dahulu.
Dengan memahami diri sendiri dan orang lain, anda akan memandang kehidupan dengan sudut pandang yang lebih baik. Selamat mencoba!

Selasa, 17 September 2013

Sekilas Mengenai Wawancara



Apa yang pertama kali di benak anda ketika mendengar kata wawancara? Alat perekam? Televisi? Wartawan? Ya. Wawancara memang sebuah teknik andalan para wartawan untuk mengumpulkan informasi dari narasumber yang biasanya banyak ditayangkan di media massa. Pada dasarnya, setiap orang mampu melaksanakan wawancara di manapun dan dengan siapapun. Nah, pertanyaan selanjutnya adalah, apakah yang harus diperhatikan dalam melakukan wawancara?
Pertama, tentukan sasaran dan jenis informasi yang akan ditanyakan saat wawancara. Ya, hal inilah yang membedakan wawancara dengan sekedar ngobrol-ngobrol. Dalam wawancara, biasanya pertanyaan yang ditanyakan terstruktur dan memiliki topik tertentu. Hal ini untuk membatasi waktu serta menjaga kelengkapan informasi pada topik tertentu.
Yang kedua adalah kesadaran diri. Setiap manusia memiliki nilai-nilai dan pengalamannya masing-masing. Kesadaran diri diperlukan untuk meminimalisir bias-bias yang terjadi pada saat wawancara. Terjadinya bias ketika wawancara dapat menimbulkan ketidakakuratan informasi yang anda kumpulkan ketika proses wawancara terjadi.
Yang ketiga adalah persetujuan dan kerahasiaan. Tidak semua informasi hasil wawancara dapat anda sebarluaskan ke orang lain. Pastikan subjek yang anda wawancara mengetahui kegunaan informasi yang anda kumpulkan supaya tidak terjadi pelanggaran etika.
Dan yang terakhir dan tak kalah penting adalah nurani dan empati. Ya, dalam melakukan wawancara, anda harus menggunakan empati anda. Wawancara dapat berlangsung dengan baik apabila orang yang anda wawancara merasa aman dan nyaman. Jangan sampai anda tidak mendapatkan informasi yang anda butuhkan hanya karena orang yang anda wawancara merasakan tekanan dari gaya bicara anda. Untuk itu, gunakan empati yang anda miliki untuk menyediakan dan menciptakan suasana yang memadai untuk melakukan wawancara.
Demikian sedikit dari saya. Selamat melakukan wawancara! 

Kamis, 18 April 2013

Terorisme; Kok Bisa Ya?


Ledakan besar di Boston yang memakan korban sekitar 3 orang tewas dan 170 lainnya luka pada Senin, 15 April 2013 lalu membuktikan masih maraknya terorisme di dunia. (okezone.com)
ketika seseorang mendengar kata 'teroris', maka pertanyaan yang muncul adalah, "kok bisa ya?" atau "tega-teganya ya dia melakukan hal semacam itu, padahal orang-orang yang dibunuh kan tidak berdosa."
jika menilik dari sisi psikologi manusia, jawabnya adalah: tentu saja bisa.
salah satu kecenderungan manusia yang dibahas dalam psikologi yaitu adalah kepatuhan atau obedience. kepatuhan (dikutip dalam Myers, 2010) adalah perilaku yang dilakukan berdasarkan perintah.
sebuah penelitian yang menarik dilakukan oleh Stanley Milgram (dikutip dalam Myers, 2010). Dilatar belakangi oleh rasa penasaran oleh bagaimana tentara Nazi membunuh warga tak berdosa, Milgram ingin melihat seberapa patuh seseorang terhadap figur otoritas untuk melakukan suatu perbuatan, bahkan ketika perbuatan itu melawan hati nurani orang tersebut.
Milgram mengumpulkan 2 relawan untuk melakukan eksperimen. relawan A diperintahkan untuk membacakan soal-soal kepada relawan B. bila salah menjawab, relawan A akan menekan tombol, yang mana adalah tombol setrum yang akan menyetrum relawan B. tombol tersebut dipasangi setrum dari 15 volt, 30 volt, 45 volt, dan terus meningkat setiap relawan B melakukan kesalahan hingga 450 volts. relawan B terus menerus melakukan kesalahan hingga berteriak kesakitan.
Milgram melakukan eksperimen ini terhadap 110 orang dan hasilnya 65 persen dari peserta mampu bertahan hingga mencapai bagian 450 volts.
lucunya, sebelum melakukan eksperimen, Milgram menanyakan seberapa jauh mereka mampu patuh, mereka menjawab hanya akan patuh hingga 130 volts, selebihnya tidak mungkin! Milgram menyebut hal ini sebagai moral hipocrisy , yaitu di mana seseorang menganggap dirinya baik dan bermoral di hadapan orang lain.
dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk patuh terhadap figur otoritas(figur otoritas tidak selalu manusia, dapat berupa doktrin, ajaran, dan lain-lain).
Menurut pengamatan saya, kepatuhan-kepatuhan yang dimiliki oleh manusia merupakan perilaku yang dipelajari sejak kecil. Anak-anak dengan polosnya akan patuh keapda orangtuanya dan gurunya di sekolah melebihi siapapun. dengan mengikuti kata-kata orangtua atau gurunya, seorang anak akan merasa "benar" dan nyaman. rasa nyaman yang dimiliki oleh anak ini terkadang terus muncul hingga dewasa.
Manusia memiliki kecenderungan untuk "malas" bertanggungjawab dan cenderung menyalahkan figur otoritas dalam melakukan perbuatan-perbuatan, bahkan yang mengingkari hati nuraninya sekalipun.
nah, hal inilah yang mendasari orang-orang seperti teroris (menurut Sarlito Sarwono teroris tidak memiliki gejala psikopat) dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang melampaui kemanusiaan.
doktrin-doktrin agama, doktrin figur yang dipuja-puja dapat menimbulkan fanatisme dan kebencian sehingga seorang teroris mampu meledakkan bom yang menewaskan banyak orang dan tetap merasa "saya benar" atau "saya akan mendapatkan pahala" berdasarkan agama saya, atau berdasarkan ajaran guru saya.
Untuk menghindari hal-hal seperti di atas, perlu ditumbuhkan sikap kritis dan tanggungjawab. Sadarilah bahwa setiap perbuatan akan selalu disertai resiko dan tanggungjawab dan fanatisme hanya akan merugikan diri sendiri dan orang lain.
sekian.

Jumat, 12 April 2013

New Blog

hello, everyone! :D
I made a new blog. This is gonna be my art blog.
please kindly visit lupitagallery.blogspot.com
thank you! :D