life. art. crazy mind. whatever

Senin, 28 Mei 2012

Korupsi, Munafik, dan Psikologi Sosial


Mengutip statusnya guru gw waktu masih SMA di Yogyakarta “Korupsi mengapa berbaju kemunafikan? Beraksi cari muka” terus gw menyahut “Saya bisa jelaskan itu status. Mau pake teori yang mana?” haha.. sombong sekali ya keliatannya. Sombong dikit bolehlah, kuliah mahal, susah-susah jadi dimaafkan lah ya kalo sombong sedikit.
Masih inget sama kasus Nazaruddin? Nazaruddin menjadi tersangka kasus korupsi proyek Hambalang, kemudian tersangka menjadi meleber ke mana-mana termasuk Angelina Sondakh dan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum.
Menurut studi yang dilakukan oleh Muzafer Sheriff tahun 1930an tentang konformitas (dikutip dalam Myers, 2010) manusia cenderung berpendapat sesuai dengan norma-norma sosial. Dalam studi tersebut ditemukan bahwa individu cenderung mempertimbangkan apa yang menjadi pendapat lain, dapat dikatakan bahwa individu tidak mau sendirian. Hal ini yang mendasari mengapa kasus korupsi cenderung terungkap secara beruntun seperti efek domino. Rasa bersalah ketika ketahuan melakukan korupsi di depan publik (apalagi efek media yang memperolok mereka seolah mereka dalah orang yang amat jahat) menjadi lebih ringan dan melegakan ketika diketahui bahwa terdapat orang lain yang mengalami hal yang sama.
Studi-studi yang hampir serupa juga diadakan oleh Solomon Asch dan Stanley Milgram (dikutip dalam Myers, 2010). Asch melakukan studi mengenai konformitas, sedangkan Milgram berhasil membuktikan bahwa 65 persen partisipan dalam studinya tetap patuh pada otoritas bahkan ketika perintah itu bertentangan dengan hati nurani mereka.
Ketiga studi tentang konformitas dan kepatuhan di atas dapat menjadi refleksi mengapa korupsi amat sulit dipatahkan. Faktor situasi dan keadaan di dalam pemerintah tidak memungkinkan bahkan kader-kader yang bersih untuk tidak bertindak kotor. Ketika ada kader muda yang masuk dan ingin mencoba menjadi bersih, mereka dengan terpaksa akan patuh dan konform kepada politisi-politisi senior di dalam insititusi.
Kemudian yang tidak lebih baik adalah masalah masalah kemunafikan. Banyak politisi-politisi menggunakan jubah agama dan nilai-nilai budaya sebagai pelindung citra diri mereka di hadapan publik. Ini adalah sebuah usaha untuk menciptakan persepsi positif di hadapan publik atau istilahnya dalam psikologi sosial adalah self-presentation (Myers, 2010). Menurut teori atribusi, manusia cenderung menilai seseorang melalui atribut-atribut yang dimiliki orang lain, misalnya dari perilakunya, dari tampilannya, atau dari cara bicaranya. Hal ini membuat politisi berlomba-lomba mengumbar nilai-nilai agama dan budaya sebagai atribut mereka dan menunjukkan sikap yang positif terhadap nilai-nilai tersebut.
Hal ini menjadi salah kaprah ketika ditemukan oleh Daniel Batson (dikutip dalam Myers, 2010) dalam penelitiannya bahwa sikap (penilaian pro dan kontra terhadap sesuatu hal) tidak menentukan perilaku seseorang. Batson menyebut fenomena ini dengan istilah moral hipocrisy. Hmm.. paradoks yang memuakkan, ya? Seperti pepatah, jangan menilai buku dari sampulnya, ada benarnya juga.
Merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa sistem pendidikan dan sistem moral di Indonesia memang belum tepat sasaran dan efisien. Gw sendiri amat sangat mendukung sekularisme dan revolusi kepemimpinan politik. Secepatnya masyarakat harus sadar kalau ada yang salah di sistem pendidikan dan politik di Indonesia ini, jangan cuma angguk-angguk kepala kayak kerbau yang dicucuk hidungnya. Kalau negara ini hilang di kemudian hari, siapa yang mau bertanggungjawab?