life. art. crazy mind. whatever

Minggu, 09 Oktober 2011

Psychology Vs Common Sense

Beberapa bulan yang lalu, saya mendengar pembicaraan dua pemuda di Toko Buku Gramedia di sebuah mall di Jakarta Barat. Pemuda satu melihat-lihat rak buku dengan judul “psikologi” di bagian atas raknya lalu berkata kepada pemuda kedua, “Gue pengen kuliah psikologi loh! Kayaknya seru!”. Lalu pemuda kedua berkomentar, “Ah, buat apa? Psikologi sih bisa dipelajari sendiri, lagi!”. Lalu pemuda yang pertama mengatakan “Oh, ya?” sambil mengembalikan buku yang diambilnya dan pergi bersama pemuda yang pertama. Saya tersenyum senyum melihat mereka berdua. Dalam hati saya geli sendiri. Kakak perempuan saya juga mengatakan hal yang sama ketika mendengar bahwa saya akan mengambil kuliah jurusan psikologi.
Jadi, apa pendapat saya tentang apa yang dikatakan oleh pemuda kedua dan apa yang dikatakan oleh kakak perempuan saya? Apakah kuliah jurusan psikologi begitu adanya?? Jawaban saya adalah tidak sama sekali!
Apakah psikologi itu?
Secara etimologis, kata psikologi berasal dari bahasa Yunani yaitu psyche, yang artinya adalah jiwa, dan logos yang artinya adalah nalar, logika, atau ilmu. Untuk itu, banyak yang berpendapat bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Pengertian ini banyak digunakan ketika psikologi masih merupakan bagian dari ilmu filsafat. Pengertian ini menemui kesulitan ketika psikologi harus berdiri sendiri sebagai ilmu yang memiliki wilayah kajian tersendiri. (Sarwono, 2002).
Laura A. King dalam bukunya The Science of Psychology mendefinisikan psikologi sebagai studi ilmiah tentang perilaku dan proses-proses mental. Definisi ini merupakan definisi yang lebih lengkap dengan tiga kata kunci yaitu studi ilmiah, perilaku, dan proses-proses mental. Studi ilmiah maksudnya adalah psikologi menggunakan metode-metode ilmiah dalam mengobservasi perilaku manusia dan memberikan kesimpulan. Perilaku adalah kegiatan-kegiatan manusia yang dapat diobservasi. Proses-proses mental meliputi pikiran, perasaan, dan motif-motif yang dimiliki manusia, yang tidak dapat diobservasi secara langsung. (King, 2008).
Psikologi Sebagai Sains
Sebagai bagian dari ilmu, psikologi juga menggunakan dasar-dasar sains. Psikolog melakukan penelitian-penelitian mengenai fenomena-fenomena yang ada di dalam masyarakat. Tidak semua fenomena yang kelihatannya adalah benar adalah benar. Perlu diadakan penelitian oleh ilmuwan-ilmuwan untuk membuktikannya. Di sinilah peran psikologi.
Bidang-Bidang Psikologi


Ketika muncul kata psikologi, apakah yang orang-orang pikirkan? Terapi? Orang gila? Stress? Psikologi tidaklah sesempit itu. Psikologi memiliki berbagai macam pendekatan dalam menerapkan ilmunya. Pendekatan-pendekatan tersebut(dalam King, 2008) adalah pendekatan biologis, pendekatan perilaku, pendekatan psikodinamika, pendekatan humanistik, pendekatan kognitif, pendekatan evolusioner, dan sosiokultural. Semuanya tersebut harus dipelajari satu per satu dalam mata kuliah-mata kuliah dalam fakultas psikologi.
Ilmu Psikologi vs Psikologi Populer
Psikologi adalah bidang yang amat dekat dengan kehidupan sehari-hari manusia. Banyak orang yang mencoba menafsirkan kehidupan dengan menulis buku-buku dengan tema psikologi. Namun, tidak semua buku bertajuk psikologi adalah buku ilmiah. Banyak buku-buku psikologi populer atau buku yang tidak didasarkan oleh keterangan-keterangan ilmiah tersebar di toko-toko buku. Bukannya menganggap remeh buku psikologi populer, namun perlu diingat bahwa pengarang buku-buku psikologi populer tidak memiliki basis ilmu psikologi sehingga bukunya belum tentu mengandung kebenaran ilmiah. Seringkali, toko-toko buku terkenal juga memberikan tajuk “psikologi” saja, tanpa memperhatikan bahwa di dalam raknya adalah buku-buku “psikologi populer.”
Psikolog Bukan Peramal
Banyak mendengar ungkapan bahwa psikolog atau lulusan-lulusan psikologi bisa meramal kepribadian bahkan pikiran manusia. Itu salah. Psikolog bukan peramal. Psikolog menganalisis kepribadian. Untuk bisa menganalisis kepribadian, diperlukan pembelajaran yang rinci dan masif tentang dinamika kepribadian manusia dari berbagai teori.
Kajian psikologi mengenai kepribadian ada dalam mata kuliah psikologi kepribadian. Psikologi kepribadian mempelajari tentang traits, tujuan-tujuan, motif, genetis, dan faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi dinamika kepribadian manusia. (King, 2008). Menurut Feist & Feist (dalam Feist&Feist, 2009), kepribadian adalah traits atau perbedaan perilaku serta karakteristik unik manusia yang relatif konsisten dan menetap pada individu. Dalam mengkaji kepribadian, diperlukan teori-teori, spekulasi, hipotesis, dan penelitian.
Sedangkan ilmu-ilmu seperti palmistri (ilmu rajah tangan), astrologi, numerologi, dan phrenologi adalah termasuk pseudoscience atau ilmu semu. Pseudoscience ini tidak memiliki bukti empiris metodologis untuk berdiri sebagai ilmu. (Sarwono, 2002).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat bahwa ilmu psikologi tidak sesederhana yang orang-orang pikirkan atau sekedar common sense. Ilmu psikologi mengkaji masalah perilaku dan proses-proses mental secara ilmiah. Masih menganggap bahwa psikologi dapat dipelajari sendiri? Sebaiknya anda berpikir dua kali.

Minggu, 02 Oktober 2011

Kegagalan Pendidikan Pancasila Terlalu Dini

Isu-isu nasionalisme kini sering mencuat lagi dengan ramainya kasus-kasus politik dan ekonomi yang mengusik ketenangan bangsa, khususnya kalangan akademis nasionalis bangsa. Kasus-kasus pertahanan, pencurian budaya, dan isu perdagangan bebas ACFTA menjadi isu besar yang banyak dibicarakan akhir-akhir ini.
Perlu ditelaah lebih jauh, nasionalisme bukan sekedar mencintai negeri, menyanyikan lagu-lagu nasional saat upacara-upacara perayaan tertentu, bukan sekedar orasi-orasi kosong yang mengatas namakan rakyat dan nasionalisme. Nasionalisme adalah kebersamaan, keadilan, persatuan, dan kemanusiaan. Nasionalisme adalah Pancasila.
Pendidikan Pancasila merupakan salah-satu pendidikan yang dianggap penting di sistem pendidikan Indonesia. Dari Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi, civitas akademika Indonesia tidak lepas dari pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Melihat betapa seringnya Pancasila dibahas dalam dunia pendidikan, muncul sebuah paradoks bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak Pancasilais. Mengapa?
Perkembangan Kognitif Anak-Anak
Menurut teori perkembangan manusia (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009), seorang individu (manusia) mengalami perkembangan baik dari segi fisik, kognitif, maupun psikososial. Seorang individu berkembang dari tidak mengetahui apa-apa, menjadi tahu sesuai dengan tingkat kognitif serta pengetahuannya dari waktu ke waktu. Seorang ahli psikologi bernama Jean Piaget (dalam Papalia,Olds, & Feldman, 2009) merumuskan perkembangan ke dalam empat tahap. Tahap yang akan kita telaah sehubungan dengan pendidikan awal adalah tahap preoperational stage, yaitu usia dua sampai tujuh tahun, atau seusia Taman Kanak-Kanak sampai awal Sekolah Dasar.
Pada tahap ini, seorang anak belum dapat memahami kejadian berdasarkan hukum sebab-akibat. Pola pikir anak masih berdasarkan transduction, atau menghubungkan dua kejadian yang berlangsung hampir bersamaan walau tidak memiliki hubungan sama sekali. Anak pada tahap ini juga masih memiliki egosentrisme yang besar. Egosentrisme adalah ketidakmampuan dalam memposisikan dirinya sebagai orang lain. Segala sesuatu diukur dari sudut pandang sendiri. Anak preoperational stage terkadang masih mengalami kebingungan dalam membedakan benda mati dan benda hidup. Kemampuan perbendaharaan anak juga masih sedikit. (Papalia, Olds, Feldman, 2009).
Dengan tingkat kognitif anak-anak yang masih sangat sederhana, pembelajaran Pancasila yang ditanamkan terlalu dini hanya dihafalkan oleh kemampuan memori anak-anak tersebut tanpa pemahaman yang matang. Penanaman yang terlalu dini dan proses penghafalan tanpa pemahaman akan mematikan keingintahuan, sehingga individu menjadi acuh tak acuh terhadap pendidikan pacasila di tingkat selanjutnya.