life. art. crazy mind. whatever

Kamis, 18 April 2013

Terorisme; Kok Bisa Ya?


Ledakan besar di Boston yang memakan korban sekitar 3 orang tewas dan 170 lainnya luka pada Senin, 15 April 2013 lalu membuktikan masih maraknya terorisme di dunia. (okezone.com)
ketika seseorang mendengar kata 'teroris', maka pertanyaan yang muncul adalah, "kok bisa ya?" atau "tega-teganya ya dia melakukan hal semacam itu, padahal orang-orang yang dibunuh kan tidak berdosa."
jika menilik dari sisi psikologi manusia, jawabnya adalah: tentu saja bisa.
salah satu kecenderungan manusia yang dibahas dalam psikologi yaitu adalah kepatuhan atau obedience. kepatuhan (dikutip dalam Myers, 2010) adalah perilaku yang dilakukan berdasarkan perintah.
sebuah penelitian yang menarik dilakukan oleh Stanley Milgram (dikutip dalam Myers, 2010). Dilatar belakangi oleh rasa penasaran oleh bagaimana tentara Nazi membunuh warga tak berdosa, Milgram ingin melihat seberapa patuh seseorang terhadap figur otoritas untuk melakukan suatu perbuatan, bahkan ketika perbuatan itu melawan hati nurani orang tersebut.
Milgram mengumpulkan 2 relawan untuk melakukan eksperimen. relawan A diperintahkan untuk membacakan soal-soal kepada relawan B. bila salah menjawab, relawan A akan menekan tombol, yang mana adalah tombol setrum yang akan menyetrum relawan B. tombol tersebut dipasangi setrum dari 15 volt, 30 volt, 45 volt, dan terus meningkat setiap relawan B melakukan kesalahan hingga 450 volts. relawan B terus menerus melakukan kesalahan hingga berteriak kesakitan.
Milgram melakukan eksperimen ini terhadap 110 orang dan hasilnya 65 persen dari peserta mampu bertahan hingga mencapai bagian 450 volts.
lucunya, sebelum melakukan eksperimen, Milgram menanyakan seberapa jauh mereka mampu patuh, mereka menjawab hanya akan patuh hingga 130 volts, selebihnya tidak mungkin! Milgram menyebut hal ini sebagai moral hipocrisy , yaitu di mana seseorang menganggap dirinya baik dan bermoral di hadapan orang lain.
dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk patuh terhadap figur otoritas(figur otoritas tidak selalu manusia, dapat berupa doktrin, ajaran, dan lain-lain).
Menurut pengamatan saya, kepatuhan-kepatuhan yang dimiliki oleh manusia merupakan perilaku yang dipelajari sejak kecil. Anak-anak dengan polosnya akan patuh keapda orangtuanya dan gurunya di sekolah melebihi siapapun. dengan mengikuti kata-kata orangtua atau gurunya, seorang anak akan merasa "benar" dan nyaman. rasa nyaman yang dimiliki oleh anak ini terkadang terus muncul hingga dewasa.
Manusia memiliki kecenderungan untuk "malas" bertanggungjawab dan cenderung menyalahkan figur otoritas dalam melakukan perbuatan-perbuatan, bahkan yang mengingkari hati nuraninya sekalipun.
nah, hal inilah yang mendasari orang-orang seperti teroris (menurut Sarlito Sarwono teroris tidak memiliki gejala psikopat) dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang melampaui kemanusiaan.
doktrin-doktrin agama, doktrin figur yang dipuja-puja dapat menimbulkan fanatisme dan kebencian sehingga seorang teroris mampu meledakkan bom yang menewaskan banyak orang dan tetap merasa "saya benar" atau "saya akan mendapatkan pahala" berdasarkan agama saya, atau berdasarkan ajaran guru saya.
Untuk menghindari hal-hal seperti di atas, perlu ditumbuhkan sikap kritis dan tanggungjawab. Sadarilah bahwa setiap perbuatan akan selalu disertai resiko dan tanggungjawab dan fanatisme hanya akan merugikan diri sendiri dan orang lain.
sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar