life. art. crazy mind. whatever
Senin, 28 Mei 2012
Korupsi, Munafik, dan Psikologi Sosial
Mengutip statusnya guru gw waktu masih SMA di Yogyakarta “Korupsi mengapa berbaju kemunafikan? Beraksi cari muka” terus gw menyahut “Saya bisa jelaskan itu status. Mau pake teori yang mana?” haha.. sombong sekali ya keliatannya. Sombong dikit bolehlah, kuliah mahal, susah-susah jadi dimaafkan lah ya kalo sombong sedikit.
Masih inget sama kasus Nazaruddin? Nazaruddin menjadi tersangka kasus korupsi proyek Hambalang, kemudian tersangka menjadi meleber ke mana-mana termasuk Angelina Sondakh dan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum.
Menurut studi yang dilakukan oleh Muzafer Sheriff tahun 1930an tentang konformitas (dikutip dalam Myers, 2010) manusia cenderung berpendapat sesuai dengan norma-norma sosial. Dalam studi tersebut ditemukan bahwa individu cenderung mempertimbangkan apa yang menjadi pendapat lain, dapat dikatakan bahwa individu tidak mau sendirian. Hal ini yang mendasari mengapa kasus korupsi cenderung terungkap secara beruntun seperti efek domino. Rasa bersalah ketika ketahuan melakukan korupsi di depan publik (apalagi efek media yang memperolok mereka seolah mereka dalah orang yang amat jahat) menjadi lebih ringan dan melegakan ketika diketahui bahwa terdapat orang lain yang mengalami hal yang sama.
Studi-studi yang hampir serupa juga diadakan oleh Solomon Asch dan Stanley Milgram (dikutip dalam Myers, 2010). Asch melakukan studi mengenai konformitas, sedangkan Milgram berhasil membuktikan bahwa 65 persen partisipan dalam studinya tetap patuh pada otoritas bahkan ketika perintah itu bertentangan dengan hati nurani mereka.
Ketiga studi tentang konformitas dan kepatuhan di atas dapat menjadi refleksi mengapa korupsi amat sulit dipatahkan. Faktor situasi dan keadaan di dalam pemerintah tidak memungkinkan bahkan kader-kader yang bersih untuk tidak bertindak kotor. Ketika ada kader muda yang masuk dan ingin mencoba menjadi bersih, mereka dengan terpaksa akan patuh dan konform kepada politisi-politisi senior di dalam insititusi.
Kemudian yang tidak lebih baik adalah masalah masalah kemunafikan. Banyak politisi-politisi menggunakan jubah agama dan nilai-nilai budaya sebagai pelindung citra diri mereka di hadapan publik. Ini adalah sebuah usaha untuk menciptakan persepsi positif di hadapan publik atau istilahnya dalam psikologi sosial adalah self-presentation (Myers, 2010). Menurut teori atribusi, manusia cenderung menilai seseorang melalui atribut-atribut yang dimiliki orang lain, misalnya dari perilakunya, dari tampilannya, atau dari cara bicaranya. Hal ini membuat politisi berlomba-lomba mengumbar nilai-nilai agama dan budaya sebagai atribut mereka dan menunjukkan sikap yang positif terhadap nilai-nilai tersebut.
Hal ini menjadi salah kaprah ketika ditemukan oleh Daniel Batson (dikutip dalam Myers, 2010) dalam penelitiannya bahwa sikap (penilaian pro dan kontra terhadap sesuatu hal) tidak menentukan perilaku seseorang. Batson menyebut fenomena ini dengan istilah moral hipocrisy. Hmm.. paradoks yang memuakkan, ya? Seperti pepatah, jangan menilai buku dari sampulnya, ada benarnya juga.
Merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa sistem pendidikan dan sistem moral di Indonesia memang belum tepat sasaran dan efisien. Gw sendiri amat sangat mendukung sekularisme dan revolusi kepemimpinan politik. Secepatnya masyarakat harus sadar kalau ada yang salah di sistem pendidikan dan politik di Indonesia ini, jangan cuma angguk-angguk kepala kayak kerbau yang dicucuk hidungnya. Kalau negara ini hilang di kemudian hari, siapa yang mau bertanggungjawab?
Minggu, 01 April 2012
Belajar atau Menghafal??
Apa itu belajar? Mungkin sebagian besar umat manusia masih berpikir bahwa belajar adalah membaca, menghafal, lalu akan ada ujian. Well, saya dulu juga memiliki bayangan yang sama. Ibu saya orang yang menomor satukan belajar. Dulu, ketika saya masih di Sekolah Dasar, beliau bahkan tidak mau menandatangani buku belajar saya, hanya karena saya tidak melakukan aktifitas membaca di luar jam les. Bayangkan saja, 6 jam sekolah, ditambah 2 jam les, bahkan beberapa hari bisa lebih. saya mesti belajar lagi??? Saya dilarang membeli buku-buku novel remaja, kecuali buku pelajaran sekolah. Untung saja masih bisa baca majalah. Saya marah, kesal, benci dengan yang namanya belajar. Apalagi banyak mata pelajaran yang saya anggap tidak berguna untuk cita-cita saya. Toh, sekarang sudah lupa (karena dulu hanya menghafal). Setelah kuliah, perspektif saya tentang belajar mulai berubah. belajar lebih sederhana dan menyenangkan dari membaca dan menghafal.
Apakah belajar?
Para psikolog memiliki pengertiannya sendiri mengenai proses belajar. Kaum behavioris, menekankan proses belajar pada perubahan perilaku seseorang atas hadirnya stimulus-stimulus yang muncul dari lingkungan. Seperti Burrhus F. Skinner (dikutip dalam Hergenhahn & Olson, 2004) misalnya. Skinner mengemukakan dua tipe perilaku yaitu perilaku responden dan operan. Perilaku responden adalah di mana perilaku seseorang dihasilkan dari stimulus oleh lingkungan, sebaliknya, operan berarti organisme yang menimbulkan stimulus tersebut.
Kaum sosial-kognitif memiliki pandangan yang sedikit berbeda. Mereka berpendapat bahwa lingkungan sosial serta fungsi-fungsi kognitif manusia berinteraksi untuk menghasilkan perilaku atau kepribadian baru. Salah satu tokoh yang terkenal dari kaum sosial-kognitif adalah Albert Bandura (dikutip dalam Feist & Feist, 2009). Bandura memiliki teori di mana lingkungan, perilaku, dan individu sendiri (person) saling berinteraksi untuk mengatur perilaku.
Istilah “belajar” dalam dunia pendidikan dikemukakan oleh Santrock (dikutip dalam Santrock, 2011) yaitu belajar adalah pengaruh yang relatif permanen, meiputi perilaku, pengetahuan, dan kemampuan berpikir, yang muncul setelah serangkaian pengalaman. Jadi, semua hal yang kita pelajari (beberapa perilaku tidak melalui proses belajar seperti menelan, mengedipkan mata, dll) adalah proses belajar.
Belajar, Variasi, dan Kognisi
Setiap individu memiliki kesukaan sendiri dalam belajar. Pada dasarnya, manusia memiliki berbagai macam cara untuk belajar, misalnya secara visual atau dengan melihat, memberi warna pada catatan, secara auditif atau dengan mendengarkan (pernahkah menemui teman yang cepat menghafal hanya dengan mendengarkan temannya berbicara? Teman anda adalah tipe auditif), secara kinestetik atau belajar dengan praktek langsung, motorik (biasanya orang dengan tipe motorik senang belajar sambil jalan-jalan atau sambil bergerak-gerak), atau eidetic yaitu belajar dengan imajinasi.
Proses belajar melibatkan bagaimana manusia mengolah informasi di dalam kognisi. Informasi-informasi yang diolah manusia melalui proses-proses kognisi akan disimpan di dalam memori. Menurut Robert Solso (dikutip dalam Solso, Maclin, & Maclin, 2008) kemampuan memori manusia adalah tidak terbatas. Jadi, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa isi kepala anda penuh, atau tidak muat lagi untuk memasukan infomasi baru ke kepala. Yang ada adalah, anda jenuh karena otak membutuhkan waktu untuk memproses informasi dan melektakkan setiap informasi-informasi ke dalam peta konsep yang benar di dalam kepala anda.
Belajar Dapat Di Mana Saja
Dengan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa belajar dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Apakah itu sambil membaca novel, menonton televisi, bahkan detik-detik sebelum tidur saat anda berpikir mengenai kejadian-kejadian dalam hidup. Belajar bukanlah serta merta menghafal buku teks, karena belajar menuntut perubahan dalam cara berpikir dan berperilaku anda. Untuk itu, buatlah kegiatan belajar anda menyenangkan. Buatlah diri anda penasaran terhadap apa yang ada dan apa yang terjadi dalam dunia ini. Selamat belajar!
Jumat, 02 Desember 2011
Dimensi Kecerdasan
Sewaktu sekolah, nilai matematika saya sering jelek, dan saya menyukai mata pelajaran Bahasa Indonesia. Orang tua saya tidak mengizinkan saya masuk jurusan bahasa ataupun mengambil kuliah jurusan sastra. Sehari-hari kegiatan saya hanya menggambari kertas-kertas kosong di kelas, sampai mendapat teguran guru. Apa yang terjadi? Apakah saya kurang cerdas?
Kecerdasan adalah topik yang pasti akan dibicarakan dalam kehidupan. Selalu ada pertentangan antara anak yang cerdas dan kurang cerdas, tentang sistem ranking, dan tes-tes kecerdasan. Sebenarnya apa sih kecerdasan itu?
Definisi Kecerdasan
Binet dan Simon (dalam Gregory, 2007) mendeskripsikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk menilai, mengerti, dan menalar dengan baik. Wechsler mendeskripsikan kecerdasan sebagai kemampuan global individu untuk bergerak disertai tujuan, berpikir secara rasional, dan berinteraksi dengan baik dengan lingkungan. Thorndike mendeskripsikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk berespon dengan baik dari sudut pandang fakta. Dan masih banyak definisi lainnya mengenai kecerdasan.
Banyak ahli memperdebatkan mengenai definisi kecerdasan. Kecerdasan tidak dapat diukur dari satu sudut pandang saja. Dalam dunia akademik, Santrock (2011) mendeskripsikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan untuk beradaptasi serta belajar dari pengalaman-pengalaman.
Tes-tes Inteligensi
Perdebatan para ahli psikologi mengenai ukuran kecerdasan menghasilkan alat ukur berupa tes-tes inteligensi. Salah satu alat tes IQ (Intelligence Quotient) yang sering digunakan adalah alat tes milik Wechsler. Jumlah satuan IQ yang muncul biasanya antara 90-109 untuk anak yang memiliki kecerdasan rata-rata. Apakah alat tes IQ menjadi satu-satunya alat ukur kecerdasan? Tentu saja tidak. Jangan cemas jika anda mendapatkan skor yang rendah atau biasa saja dalam tes-tes IQ. Alat tes IQ hanya mengukur kecerdasan manusia untuk keperluannya di bidang akademik, sedangkan kecerdasan manusia adalah konsep yang luas cakupannya.
Jenis-jenis kecerdasan
Persepsi bahwa kepintaran hanya milik dokter, ahli matematika, atau arsitek harus dibuang jauh-jauh. Faktanya, setiap individu memiliki kecerdasan dan keunikannya masing-masing. Beberapa ahli mengemukakan jenis-jenis kecerdasan yang ada pada manusia.
Cattel, Horn, dan Carrol (dalam Gregory, 2007) mengemukakan dua jenis inteligensi manusia yaitu fluid dan crystalized intelligence. Fluid intelligence adalah kecerdasan yang meliputi hal-hal seperti menggambar, membentuk konsep, membuat hipotesis, serta kemampuan menalar secara induktif maupun deduktif. Kecerdasan ini umumnya bersifat nonverbal dan sangat sedikit pengaruh budaya di dalamnya. Sebaliknya, crystalized intelligence adalah inteligensi seseorang mengenai budaya setempat. Kecerdasan ini umumnya berbentuk verbal. (Gregory, 2007).
Robert J. Sternberg (dalam King, 2006) mengemukakan tentang Triarchic Theory of Intelligence. Sternberg membagi kecerdasan dalam tiga bentuk yaitu kecerdasan analitis, kreatif, dan praktis. Keccerdasan analitis adalah kemampuan untuk menganalisis, memilih, mengevaluasi, membandingkan, dan mengkontras. Kecerdasan kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan, mendesain, memajukan, orisinalitas, dan imajinasi. Yang terakhir, kecerdasan praktis adalah kemampuan untuk menggunakan, mengaplikasikan, mengimplementasi, dan mempraktikkan ide-ide. Ketiga jenis inteligensi ini tidak bersifat sendiri-sendiri namun bercampur. Setiap individu dapat memiliki inteligensi yang lebih dominan pada dirinya.
Salah satu teori tentang multiple intelligence yang terkenal adalah delapan dimensi kecerdasan menurut Howard Gardner. Gardner (dalam Santrock, 2011) mengemukakan mengenai delapan jenis inteligensi.
1. Verbal skills yaitu kemampuan untuk berpikir ke dalam kata-kata dan menggunakan bahasa untuk mengekspresikan diri. Pemilik kecerdasan ini dapat menjadi penulis, jurnalis, atau pembicara.
2. Mathematical skills yaitu kemampuan untuk mengoperasikan bentuk-bentuk matematis. Pemilik kecerdasan ini dapat menjadi akuntan, ahli mesin, atau ilmuwan.
3. Spatial skills yaitu kemampuan untuk berpikir dalam bentuk tiga dimensi. Pemilik kecerdasan ini dapat menjadi arsitek, pilot, dan pelukis.
4. Bodily-kinesthetic skills yaitu kemampuan untuk memanipulasi objek dan mahir menggerakkan fisik. Pemilik kecerdasan ini dapat menjadi atlit, penari, atau ahli bedah.
5. Musical skills yaitu sensitivitas seseorang terhadap unsur-unsur suara. Pemilik kecerdasan ini dapat menjadi pemusik dan terapis musikal.
6. Intrapersonal skills yaitu kemampuan untuk mengerti akan dirinya sendiri dan secara efektif mengatur hidup sendiri. Pemilik kecerdasan ini biasanya adalah orang-orang teologi dan psikolog.
7. Interpersonal skills yaitu kemampuan untuk mengerti orang lain dan secara efektif berinteraksi dengan orang lain. Pemilik kecerdasan ini dapat menjadi guru.
8. Naturalist skills yaitu kemampuan untuk mengobservasi pola-pola alam dan mengerti alam. Pemilik kecerdasan ini dapat menjadi petani, ahli botani, atau ekolog.
Kecerdasan dan minat
Perbedaan kecerdasan pada masing-masing individu akan menumbuhkan minat yang berbeda-beda pada inividu yang bersangkutan. Jadi, jangan cemas jika anda tidak pandai matematika atau biologi, siapa tahu anda berbakat untuk menjadi penyanyi atau atlit?
Jumat, 04 November 2011
Bukan Bodoh
Pernah menemukan anak yang mengalami kesulitan dalam membaca? Menulis? Atau berhitung? Apakah ada anak-anak tersebut di lingkungan anda? Di dalam dunia sains, fenomena ini dinamakan learning disability. Learning disability berbeda dengan mental retardation atau sekarang disebut sebagai intelligence disability. Anak-anak dengan LD memiliki kemampuan inteligensi yang adekuat. Mereka hanya tidak mampu mengolah beberapa stimulus dari luar sehingga terjadi pergeseran persepsi. Sedihnya, anak-anak LD ini seringkali dianggap bodoh karena nilai akademis mereka di bawah rata-rata teman sebayanya. LD dapat dimiliki seorang anak karena faktor hereditas, kerusakan otak, ketidakseimbangan zat kimia dalam tubuh, dan faktor lingkungan. (Jack & Harwell, 2008).
Dyslexia atau disleksia adalah istilah untuk anak-anak yang mengalami gangguan kesulitan membaca. Peneliti menemukan bahwa 90% anak-anak mengalami kesulitan dalam proses belajar karena sulit membaca. (Kavale & Forness, 2000). International Dyslexia Association mendefinisikan disleksia sebagai kesulitan belajar yang spesifik yang penyebabnya adalah neurobiologis. Penderita ini memiliki karakter yaitu kesulitan dalam mengenali huruf-huruf dan kemampuan mengeja dan membaca sandi yang buruk. Torgesen dan Wagner (dalam Harwell & Jackson, 2008) menemukan bahwa anak-anak dengan disleksia mengalami kesulitan dalam menginterpretasi kata-kata. Hal ini disebabkan oleh disfungsi pada kemampuan mengenali fonem-fonem. Anak-anak normal seharusnya dapat melakukan tiga hal berikut:
• Memanipulasi huruf-huruf untuk membentuk kata. (contoh: be-o-be-o-ka sama dengan bobok)
• Membedakan huruf yang ada di tengah, depan, dan belakang. (contoh: huruf pertama dari kata “buku” adalah “b”)
• Memecah kata ke dalam bunyi huruf (contoh: tulis menjadi te-u-el-i-es)
• Memanipulasi huruf dalam kata (contoh: jika huruf “b” dalam kata “burung” diganti dengan “k” hasilnya menjadi “kurung”)
Dysgraphia adalah kesulitan belajar yang melibatkan kesulitan dalam menulis. (Santrock, 2011). Anak-anak dengan dysgraphia ini memiliki kemampuan yang buruk dalam ekspresi menulis seperti perbendaharaan kata, tata bahasa, pungtuasi, dan mengeja. Anak-anak ini membutuhkan kerja yang lebih berat untuk menulis dibandingkan dengan anak-anak lainnya. (Harwell & Jackson, 2008). Studi terbaru menemukan bahwa anak laki-laki lebih banyak menderita dysgraphia daripada perempuan. (Santrock, 2008).
Rykhlevskaia, dkk (dalam Santrock, 2008) mendefinisikan dyscalculia atau developmental arithmetic disorder sebagi kesulitan belajar yang melibatkan kesulitan dalam menghitung matematika. Anak-anak ini memiliki keterbatasan dalam mengulang angka-angka dan menyelesaikan soal-soal matematika. Shalev (dalam Santrock, 2008) menemukan bahwa anak-anak dyscalculia seringkali memiliki kemampuan kognitif dan neuropsikologis yang rendah, termasuk seperti kemampuan working memory, persepsi visual, dan kemampuan visuospasial yang buruk.
Selain ketiga di atas, beberapa anak kesulitan belajar mengalami gangguan hiperaktif. Anak-anak hiperaktif ini sulit untuk memberikan atensi pada satu hal serta atensinya mudah sekali terpecah oleh suatu hal. Gangguan ini dinamakan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Tiga karakteristik utama ADHD adalah inatensi, hiperaktif, dan impulsif. (Santrock, 2008).
Kasus-kasus kesulitan belajar di atas seringkali membawa anak-anak dalam masalah perilaku dan kepercayaan diri yang rendah. Seringkali mereka mengalami isolasi oleh teman-temannya dan dianggap bodoh. anak-anak dengan gangguan seharusnya dibina seusai dengan kemampuannya. Guru-guru yang menangani anak-anak yang memiliki learning disability diharapkan untuk sangat sabar dan jangan berpatok pada kekurangan sang anak, namun menggali apakah yang dapat dilakukan oleh anak tersebut.
Minggu, 09 Oktober 2011
Psychology Vs Common Sense
Beberapa bulan yang lalu, saya mendengar pembicaraan dua pemuda di Toko Buku Gramedia di sebuah mall di Jakarta Barat. Pemuda satu melihat-lihat rak buku dengan judul “psikologi” di bagian atas raknya lalu berkata kepada pemuda kedua, “Gue pengen kuliah psikologi loh! Kayaknya seru!”. Lalu pemuda kedua berkomentar, “Ah, buat apa? Psikologi sih bisa dipelajari sendiri, lagi!”. Lalu pemuda yang pertama mengatakan “Oh, ya?” sambil mengembalikan buku yang diambilnya dan pergi bersama pemuda yang pertama. Saya tersenyum senyum melihat mereka berdua. Dalam hati saya geli sendiri. Kakak perempuan saya juga mengatakan hal yang sama ketika mendengar bahwa saya akan mengambil kuliah jurusan psikologi.
Jadi, apa pendapat saya tentang apa yang dikatakan oleh pemuda kedua dan apa yang dikatakan oleh kakak perempuan saya? Apakah kuliah jurusan psikologi begitu adanya?? Jawaban saya adalah tidak sama sekali!
Apakah psikologi itu?
Secara etimologis, kata psikologi berasal dari bahasa Yunani yaitu psyche, yang artinya adalah jiwa, dan logos yang artinya adalah nalar, logika, atau ilmu. Untuk itu, banyak yang berpendapat bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Pengertian ini banyak digunakan ketika psikologi masih merupakan bagian dari ilmu filsafat. Pengertian ini menemui kesulitan ketika psikologi harus berdiri sendiri sebagai ilmu yang memiliki wilayah kajian tersendiri. (Sarwono, 2002).
Laura A. King dalam bukunya The Science of Psychology mendefinisikan psikologi sebagai studi ilmiah tentang perilaku dan proses-proses mental. Definisi ini merupakan definisi yang lebih lengkap dengan tiga kata kunci yaitu studi ilmiah, perilaku, dan proses-proses mental. Studi ilmiah maksudnya adalah psikologi menggunakan metode-metode ilmiah dalam mengobservasi perilaku manusia dan memberikan kesimpulan. Perilaku adalah kegiatan-kegiatan manusia yang dapat diobservasi. Proses-proses mental meliputi pikiran, perasaan, dan motif-motif yang dimiliki manusia, yang tidak dapat diobservasi secara langsung. (King, 2008).
Psikologi Sebagai Sains
Sebagai bagian dari ilmu, psikologi juga menggunakan dasar-dasar sains. Psikolog melakukan penelitian-penelitian mengenai fenomena-fenomena yang ada di dalam masyarakat. Tidak semua fenomena yang kelihatannya adalah benar adalah benar. Perlu diadakan penelitian oleh ilmuwan-ilmuwan untuk membuktikannya. Di sinilah peran psikologi.
Bidang-Bidang Psikologi
Ketika muncul kata psikologi, apakah yang orang-orang pikirkan? Terapi? Orang gila? Stress? Psikologi tidaklah sesempit itu. Psikologi memiliki berbagai macam pendekatan dalam menerapkan ilmunya. Pendekatan-pendekatan tersebut(dalam King, 2008) adalah pendekatan biologis, pendekatan perilaku, pendekatan psikodinamika, pendekatan humanistik, pendekatan kognitif, pendekatan evolusioner, dan sosiokultural. Semuanya tersebut harus dipelajari satu per satu dalam mata kuliah-mata kuliah dalam fakultas psikologi.
Ilmu Psikologi vs Psikologi Populer
Psikologi adalah bidang yang amat dekat dengan kehidupan sehari-hari manusia. Banyak orang yang mencoba menafsirkan kehidupan dengan menulis buku-buku dengan tema psikologi. Namun, tidak semua buku bertajuk psikologi adalah buku ilmiah. Banyak buku-buku psikologi populer atau buku yang tidak didasarkan oleh keterangan-keterangan ilmiah tersebar di toko-toko buku. Bukannya menganggap remeh buku psikologi populer, namun perlu diingat bahwa pengarang buku-buku psikologi populer tidak memiliki basis ilmu psikologi sehingga bukunya belum tentu mengandung kebenaran ilmiah. Seringkali, toko-toko buku terkenal juga memberikan tajuk “psikologi” saja, tanpa memperhatikan bahwa di dalam raknya adalah buku-buku “psikologi populer.”
Psikolog Bukan Peramal
Banyak mendengar ungkapan bahwa psikolog atau lulusan-lulusan psikologi bisa meramal kepribadian bahkan pikiran manusia. Itu salah. Psikolog bukan peramal. Psikolog menganalisis kepribadian. Untuk bisa menganalisis kepribadian, diperlukan pembelajaran yang rinci dan masif tentang dinamika kepribadian manusia dari berbagai teori.
Kajian psikologi mengenai kepribadian ada dalam mata kuliah psikologi kepribadian. Psikologi kepribadian mempelajari tentang traits, tujuan-tujuan, motif, genetis, dan faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi dinamika kepribadian manusia. (King, 2008). Menurut Feist & Feist (dalam Feist&Feist, 2009), kepribadian adalah traits atau perbedaan perilaku serta karakteristik unik manusia yang relatif konsisten dan menetap pada individu. Dalam mengkaji kepribadian, diperlukan teori-teori, spekulasi, hipotesis, dan penelitian.
Sedangkan ilmu-ilmu seperti palmistri (ilmu rajah tangan), astrologi, numerologi, dan phrenologi adalah termasuk pseudoscience atau ilmu semu. Pseudoscience ini tidak memiliki bukti empiris metodologis untuk berdiri sebagai ilmu. (Sarwono, 2002).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat bahwa ilmu psikologi tidak sesederhana yang orang-orang pikirkan atau sekedar common sense. Ilmu psikologi mengkaji masalah perilaku dan proses-proses mental secara ilmiah. Masih menganggap bahwa psikologi dapat dipelajari sendiri? Sebaiknya anda berpikir dua kali.
Jadi, apa pendapat saya tentang apa yang dikatakan oleh pemuda kedua dan apa yang dikatakan oleh kakak perempuan saya? Apakah kuliah jurusan psikologi begitu adanya?? Jawaban saya adalah tidak sama sekali!
Apakah psikologi itu?
Secara etimologis, kata psikologi berasal dari bahasa Yunani yaitu psyche, yang artinya adalah jiwa, dan logos yang artinya adalah nalar, logika, atau ilmu. Untuk itu, banyak yang berpendapat bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Pengertian ini banyak digunakan ketika psikologi masih merupakan bagian dari ilmu filsafat. Pengertian ini menemui kesulitan ketika psikologi harus berdiri sendiri sebagai ilmu yang memiliki wilayah kajian tersendiri. (Sarwono, 2002).
Laura A. King dalam bukunya The Science of Psychology mendefinisikan psikologi sebagai studi ilmiah tentang perilaku dan proses-proses mental. Definisi ini merupakan definisi yang lebih lengkap dengan tiga kata kunci yaitu studi ilmiah, perilaku, dan proses-proses mental. Studi ilmiah maksudnya adalah psikologi menggunakan metode-metode ilmiah dalam mengobservasi perilaku manusia dan memberikan kesimpulan. Perilaku adalah kegiatan-kegiatan manusia yang dapat diobservasi. Proses-proses mental meliputi pikiran, perasaan, dan motif-motif yang dimiliki manusia, yang tidak dapat diobservasi secara langsung. (King, 2008).
Psikologi Sebagai Sains
Sebagai bagian dari ilmu, psikologi juga menggunakan dasar-dasar sains. Psikolog melakukan penelitian-penelitian mengenai fenomena-fenomena yang ada di dalam masyarakat. Tidak semua fenomena yang kelihatannya adalah benar adalah benar. Perlu diadakan penelitian oleh ilmuwan-ilmuwan untuk membuktikannya. Di sinilah peran psikologi.
Bidang-Bidang Psikologi
Ketika muncul kata psikologi, apakah yang orang-orang pikirkan? Terapi? Orang gila? Stress? Psikologi tidaklah sesempit itu. Psikologi memiliki berbagai macam pendekatan dalam menerapkan ilmunya. Pendekatan-pendekatan tersebut(dalam King, 2008) adalah pendekatan biologis, pendekatan perilaku, pendekatan psikodinamika, pendekatan humanistik, pendekatan kognitif, pendekatan evolusioner, dan sosiokultural. Semuanya tersebut harus dipelajari satu per satu dalam mata kuliah-mata kuliah dalam fakultas psikologi.
Ilmu Psikologi vs Psikologi Populer
Psikologi adalah bidang yang amat dekat dengan kehidupan sehari-hari manusia. Banyak orang yang mencoba menafsirkan kehidupan dengan menulis buku-buku dengan tema psikologi. Namun, tidak semua buku bertajuk psikologi adalah buku ilmiah. Banyak buku-buku psikologi populer atau buku yang tidak didasarkan oleh keterangan-keterangan ilmiah tersebar di toko-toko buku. Bukannya menganggap remeh buku psikologi populer, namun perlu diingat bahwa pengarang buku-buku psikologi populer tidak memiliki basis ilmu psikologi sehingga bukunya belum tentu mengandung kebenaran ilmiah. Seringkali, toko-toko buku terkenal juga memberikan tajuk “psikologi” saja, tanpa memperhatikan bahwa di dalam raknya adalah buku-buku “psikologi populer.”
Psikolog Bukan Peramal
Banyak mendengar ungkapan bahwa psikolog atau lulusan-lulusan psikologi bisa meramal kepribadian bahkan pikiran manusia. Itu salah. Psikolog bukan peramal. Psikolog menganalisis kepribadian. Untuk bisa menganalisis kepribadian, diperlukan pembelajaran yang rinci dan masif tentang dinamika kepribadian manusia dari berbagai teori.
Kajian psikologi mengenai kepribadian ada dalam mata kuliah psikologi kepribadian. Psikologi kepribadian mempelajari tentang traits, tujuan-tujuan, motif, genetis, dan faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi dinamika kepribadian manusia. (King, 2008). Menurut Feist & Feist (dalam Feist&Feist, 2009), kepribadian adalah traits atau perbedaan perilaku serta karakteristik unik manusia yang relatif konsisten dan menetap pada individu. Dalam mengkaji kepribadian, diperlukan teori-teori, spekulasi, hipotesis, dan penelitian.
Sedangkan ilmu-ilmu seperti palmistri (ilmu rajah tangan), astrologi, numerologi, dan phrenologi adalah termasuk pseudoscience atau ilmu semu. Pseudoscience ini tidak memiliki bukti empiris metodologis untuk berdiri sebagai ilmu. (Sarwono, 2002).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat bahwa ilmu psikologi tidak sesederhana yang orang-orang pikirkan atau sekedar common sense. Ilmu psikologi mengkaji masalah perilaku dan proses-proses mental secara ilmiah. Masih menganggap bahwa psikologi dapat dipelajari sendiri? Sebaiknya anda berpikir dua kali.
Minggu, 02 Oktober 2011
Kegagalan Pendidikan Pancasila Terlalu Dini
Isu-isu nasionalisme kini sering mencuat lagi dengan ramainya kasus-kasus politik dan ekonomi yang mengusik ketenangan bangsa, khususnya kalangan akademis nasionalis bangsa. Kasus-kasus pertahanan, pencurian budaya, dan isu perdagangan bebas ACFTA menjadi isu besar yang banyak dibicarakan akhir-akhir ini.
Perlu ditelaah lebih jauh, nasionalisme bukan sekedar mencintai negeri, menyanyikan lagu-lagu nasional saat upacara-upacara perayaan tertentu, bukan sekedar orasi-orasi kosong yang mengatas namakan rakyat dan nasionalisme. Nasionalisme adalah kebersamaan, keadilan, persatuan, dan kemanusiaan. Nasionalisme adalah Pancasila.
Pendidikan Pancasila merupakan salah-satu pendidikan yang dianggap penting di sistem pendidikan Indonesia. Dari Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi, civitas akademika Indonesia tidak lepas dari pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Melihat betapa seringnya Pancasila dibahas dalam dunia pendidikan, muncul sebuah paradoks bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak Pancasilais. Mengapa?
Perkembangan Kognitif Anak-Anak
Menurut teori perkembangan manusia (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009), seorang individu (manusia) mengalami perkembangan baik dari segi fisik, kognitif, maupun psikososial. Seorang individu berkembang dari tidak mengetahui apa-apa, menjadi tahu sesuai dengan tingkat kognitif serta pengetahuannya dari waktu ke waktu. Seorang ahli psikologi bernama Jean Piaget (dalam Papalia,Olds, & Feldman, 2009) merumuskan perkembangan ke dalam empat tahap. Tahap yang akan kita telaah sehubungan dengan pendidikan awal adalah tahap preoperational stage, yaitu usia dua sampai tujuh tahun, atau seusia Taman Kanak-Kanak sampai awal Sekolah Dasar.
Pada tahap ini, seorang anak belum dapat memahami kejadian berdasarkan hukum sebab-akibat. Pola pikir anak masih berdasarkan transduction, atau menghubungkan dua kejadian yang berlangsung hampir bersamaan walau tidak memiliki hubungan sama sekali. Anak pada tahap ini juga masih memiliki egosentrisme yang besar. Egosentrisme adalah ketidakmampuan dalam memposisikan dirinya sebagai orang lain. Segala sesuatu diukur dari sudut pandang sendiri. Anak preoperational stage terkadang masih mengalami kebingungan dalam membedakan benda mati dan benda hidup. Kemampuan perbendaharaan anak juga masih sedikit. (Papalia, Olds, Feldman, 2009).
Dengan tingkat kognitif anak-anak yang masih sangat sederhana, pembelajaran Pancasila yang ditanamkan terlalu dini hanya dihafalkan oleh kemampuan memori anak-anak tersebut tanpa pemahaman yang matang. Penanaman yang terlalu dini dan proses penghafalan tanpa pemahaman akan mematikan keingintahuan, sehingga individu menjadi acuh tak acuh terhadap pendidikan pacasila di tingkat selanjutnya.
Perlu ditelaah lebih jauh, nasionalisme bukan sekedar mencintai negeri, menyanyikan lagu-lagu nasional saat upacara-upacara perayaan tertentu, bukan sekedar orasi-orasi kosong yang mengatas namakan rakyat dan nasionalisme. Nasionalisme adalah kebersamaan, keadilan, persatuan, dan kemanusiaan. Nasionalisme adalah Pancasila.
Pendidikan Pancasila merupakan salah-satu pendidikan yang dianggap penting di sistem pendidikan Indonesia. Dari Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi, civitas akademika Indonesia tidak lepas dari pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Melihat betapa seringnya Pancasila dibahas dalam dunia pendidikan, muncul sebuah paradoks bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak Pancasilais. Mengapa?
Perkembangan Kognitif Anak-Anak
Menurut teori perkembangan manusia (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009), seorang individu (manusia) mengalami perkembangan baik dari segi fisik, kognitif, maupun psikososial. Seorang individu berkembang dari tidak mengetahui apa-apa, menjadi tahu sesuai dengan tingkat kognitif serta pengetahuannya dari waktu ke waktu. Seorang ahli psikologi bernama Jean Piaget (dalam Papalia,Olds, & Feldman, 2009) merumuskan perkembangan ke dalam empat tahap. Tahap yang akan kita telaah sehubungan dengan pendidikan awal adalah tahap preoperational stage, yaitu usia dua sampai tujuh tahun, atau seusia Taman Kanak-Kanak sampai awal Sekolah Dasar.
Pada tahap ini, seorang anak belum dapat memahami kejadian berdasarkan hukum sebab-akibat. Pola pikir anak masih berdasarkan transduction, atau menghubungkan dua kejadian yang berlangsung hampir bersamaan walau tidak memiliki hubungan sama sekali. Anak pada tahap ini juga masih memiliki egosentrisme yang besar. Egosentrisme adalah ketidakmampuan dalam memposisikan dirinya sebagai orang lain. Segala sesuatu diukur dari sudut pandang sendiri. Anak preoperational stage terkadang masih mengalami kebingungan dalam membedakan benda mati dan benda hidup. Kemampuan perbendaharaan anak juga masih sedikit. (Papalia, Olds, Feldman, 2009).
Dengan tingkat kognitif anak-anak yang masih sangat sederhana, pembelajaran Pancasila yang ditanamkan terlalu dini hanya dihafalkan oleh kemampuan memori anak-anak tersebut tanpa pemahaman yang matang. Penanaman yang terlalu dini dan proses penghafalan tanpa pemahaman akan mematikan keingintahuan, sehingga individu menjadi acuh tak acuh terhadap pendidikan pacasila di tingkat selanjutnya.
Senin, 22 Agustus 2011
Apakah?
02:05 AM, dari atap kos, saya masih melihat beberapa orang belum berhenti bekerja.
Sebuah gerobak jualan makanan, beberapa pejalan kaki, dan mobil.
Di rumah kalangan menengah ke atas, mungkin sudah tertidur lelap dengan enaknya.
Sebenarnya, hidup itu apa sih??
Melihat beberapa teman yang cuma datang ketika membutuhkan saja.
Sebenarnya apakah teman itu?
Melihat diskriminasi di mana-mana. Hukum tidak melindungi minoritas.
Manusia tercerai berai.
Sebenarnya apakah keadilan itu?
Melihat kekerasan di mana-mana. Kemarahan berujung kekerasan fisik,
Kekerasan psikis.
Apakah sebenarnya kasih itu?
Melihat manusia yang setiap hari berteriak Tuhan Tuhan.
Akan tetapi tidak pernah berbuat untuk sesama.
Mengkonsumsi "Tuhan" untuk kepentingannya sendiri.
Apakah sebenarnya Tuhan itu?
Terlalu banyak ketimpangan sosial, penderitaan, perpecahan, ketidakmanusiawian.
Adakah yang peduli?
Apakah kepedulian itu?
Sebuah gerobak jualan makanan, beberapa pejalan kaki, dan mobil.
Di rumah kalangan menengah ke atas, mungkin sudah tertidur lelap dengan enaknya.
Sebenarnya, hidup itu apa sih??
Melihat beberapa teman yang cuma datang ketika membutuhkan saja.
Sebenarnya apakah teman itu?
Melihat diskriminasi di mana-mana. Hukum tidak melindungi minoritas.
Manusia tercerai berai.
Sebenarnya apakah keadilan itu?
Melihat kekerasan di mana-mana. Kemarahan berujung kekerasan fisik,
Kekerasan psikis.
Apakah sebenarnya kasih itu?
Melihat manusia yang setiap hari berteriak Tuhan Tuhan.
Akan tetapi tidak pernah berbuat untuk sesama.
Mengkonsumsi "Tuhan" untuk kepentingannya sendiri.
Apakah sebenarnya Tuhan itu?
Terlalu banyak ketimpangan sosial, penderitaan, perpecahan, ketidakmanusiawian.
Adakah yang peduli?
Apakah kepedulian itu?
Langganan:
Postingan (Atom)