life. art. crazy mind. whatever

Kamis, 19 September 2013

Every People Has a Social History, Including You

Ketika seseorang bertemu orang lain biasanya yang pertama kali diperhatikan adalah penampilan, cara berpakaian, cara berdandan, setelah itu barulah perilaku dan cara bicara.
Ketika anda bertemu orang lain secara naluriah anda akan menilai orang tersebut dari atribut-atribut yang dikenakan orang tersebut.
Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa orang-orang memiliki kecenderungan untuk berpenampilan dan berperilaku tertentu? Dalam teknik wawancara, untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu mengetahui social history.
setiap orang di dunia ini pasti memiliki sejarah dalam hidupnya. Semakin dewasa individu, semakin banyak dan kompleks kehidupan dan sejarah kehidupannya. Sejarah hidup setiap orang berbeda-beda menjadikan setiap pribadi di dunia ini memiliki kesamaan namun sekaligus perbedaan dengan orang lain yang membuat setiap individu unik. Paradoks yang lucu, ya?
setiap sejarah kehidupan membentuk kepribadian dan perilaku tertentu. Ada yang adaptif (terjadi pada individu-individu yang sehat mental), namun ada juga yang berkembang menjadi maladaptif (terjadi pada individu-individu yang mengalami gangguan mental).
Seperti yang telah saya kemukakan sebelumnya, jika berbicara perkembangan, maka kita harus mengacu pada nature versus nurture. Perilaku dan kepribadian yang dimiliki oleh individu merupakan hasil dari proses panjang biologis di dalam otak dan tubuh serta stimulus dari lingkungan.
Proses ini akah selalu berlangsung dalam hidup manusia. Untuk itu, untuk mengetahui sejarah kehidupan individu, anda perlu mengetahui lingkungan keluarga, pendidikan, pekerjaan, pernikahan, sejarah medis, hingga status hukum individu tersebut. setelah mengetahui latar belakang individu secara lengkap, anda akan lebih memahami diri sendiri dan orang lain.
Cara yang paling mudah adalah memulai untuk menganalisis diri sendiri terlebih dahulu. Mulailah dengan mengenal diri sendiri terlebih dahulu.
Dengan memahami diri sendiri dan orang lain, anda akan memandang kehidupan dengan sudut pandang yang lebih baik. Selamat mencoba!

Selasa, 17 September 2013

Sekilas Mengenai Wawancara



Apa yang pertama kali di benak anda ketika mendengar kata wawancara? Alat perekam? Televisi? Wartawan? Ya. Wawancara memang sebuah teknik andalan para wartawan untuk mengumpulkan informasi dari narasumber yang biasanya banyak ditayangkan di media massa. Pada dasarnya, setiap orang mampu melaksanakan wawancara di manapun dan dengan siapapun. Nah, pertanyaan selanjutnya adalah, apakah yang harus diperhatikan dalam melakukan wawancara?
Pertama, tentukan sasaran dan jenis informasi yang akan ditanyakan saat wawancara. Ya, hal inilah yang membedakan wawancara dengan sekedar ngobrol-ngobrol. Dalam wawancara, biasanya pertanyaan yang ditanyakan terstruktur dan memiliki topik tertentu. Hal ini untuk membatasi waktu serta menjaga kelengkapan informasi pada topik tertentu.
Yang kedua adalah kesadaran diri. Setiap manusia memiliki nilai-nilai dan pengalamannya masing-masing. Kesadaran diri diperlukan untuk meminimalisir bias-bias yang terjadi pada saat wawancara. Terjadinya bias ketika wawancara dapat menimbulkan ketidakakuratan informasi yang anda kumpulkan ketika proses wawancara terjadi.
Yang ketiga adalah persetujuan dan kerahasiaan. Tidak semua informasi hasil wawancara dapat anda sebarluaskan ke orang lain. Pastikan subjek yang anda wawancara mengetahui kegunaan informasi yang anda kumpulkan supaya tidak terjadi pelanggaran etika.
Dan yang terakhir dan tak kalah penting adalah nurani dan empati. Ya, dalam melakukan wawancara, anda harus menggunakan empati anda. Wawancara dapat berlangsung dengan baik apabila orang yang anda wawancara merasa aman dan nyaman. Jangan sampai anda tidak mendapatkan informasi yang anda butuhkan hanya karena orang yang anda wawancara merasakan tekanan dari gaya bicara anda. Untuk itu, gunakan empati yang anda miliki untuk menyediakan dan menciptakan suasana yang memadai untuk melakukan wawancara.
Demikian sedikit dari saya. Selamat melakukan wawancara! 

Kamis, 18 April 2013

Terorisme; Kok Bisa Ya?


Ledakan besar di Boston yang memakan korban sekitar 3 orang tewas dan 170 lainnya luka pada Senin, 15 April 2013 lalu membuktikan masih maraknya terorisme di dunia. (okezone.com)
ketika seseorang mendengar kata 'teroris', maka pertanyaan yang muncul adalah, "kok bisa ya?" atau "tega-teganya ya dia melakukan hal semacam itu, padahal orang-orang yang dibunuh kan tidak berdosa."
jika menilik dari sisi psikologi manusia, jawabnya adalah: tentu saja bisa.
salah satu kecenderungan manusia yang dibahas dalam psikologi yaitu adalah kepatuhan atau obedience. kepatuhan (dikutip dalam Myers, 2010) adalah perilaku yang dilakukan berdasarkan perintah.
sebuah penelitian yang menarik dilakukan oleh Stanley Milgram (dikutip dalam Myers, 2010). Dilatar belakangi oleh rasa penasaran oleh bagaimana tentara Nazi membunuh warga tak berdosa, Milgram ingin melihat seberapa patuh seseorang terhadap figur otoritas untuk melakukan suatu perbuatan, bahkan ketika perbuatan itu melawan hati nurani orang tersebut.
Milgram mengumpulkan 2 relawan untuk melakukan eksperimen. relawan A diperintahkan untuk membacakan soal-soal kepada relawan B. bila salah menjawab, relawan A akan menekan tombol, yang mana adalah tombol setrum yang akan menyetrum relawan B. tombol tersebut dipasangi setrum dari 15 volt, 30 volt, 45 volt, dan terus meningkat setiap relawan B melakukan kesalahan hingga 450 volts. relawan B terus menerus melakukan kesalahan hingga berteriak kesakitan.
Milgram melakukan eksperimen ini terhadap 110 orang dan hasilnya 65 persen dari peserta mampu bertahan hingga mencapai bagian 450 volts.
lucunya, sebelum melakukan eksperimen, Milgram menanyakan seberapa jauh mereka mampu patuh, mereka menjawab hanya akan patuh hingga 130 volts, selebihnya tidak mungkin! Milgram menyebut hal ini sebagai moral hipocrisy , yaitu di mana seseorang menganggap dirinya baik dan bermoral di hadapan orang lain.
dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk patuh terhadap figur otoritas(figur otoritas tidak selalu manusia, dapat berupa doktrin, ajaran, dan lain-lain).
Menurut pengamatan saya, kepatuhan-kepatuhan yang dimiliki oleh manusia merupakan perilaku yang dipelajari sejak kecil. Anak-anak dengan polosnya akan patuh keapda orangtuanya dan gurunya di sekolah melebihi siapapun. dengan mengikuti kata-kata orangtua atau gurunya, seorang anak akan merasa "benar" dan nyaman. rasa nyaman yang dimiliki oleh anak ini terkadang terus muncul hingga dewasa.
Manusia memiliki kecenderungan untuk "malas" bertanggungjawab dan cenderung menyalahkan figur otoritas dalam melakukan perbuatan-perbuatan, bahkan yang mengingkari hati nuraninya sekalipun.
nah, hal inilah yang mendasari orang-orang seperti teroris (menurut Sarlito Sarwono teroris tidak memiliki gejala psikopat) dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang melampaui kemanusiaan.
doktrin-doktrin agama, doktrin figur yang dipuja-puja dapat menimbulkan fanatisme dan kebencian sehingga seorang teroris mampu meledakkan bom yang menewaskan banyak orang dan tetap merasa "saya benar" atau "saya akan mendapatkan pahala" berdasarkan agama saya, atau berdasarkan ajaran guru saya.
Untuk menghindari hal-hal seperti di atas, perlu ditumbuhkan sikap kritis dan tanggungjawab. Sadarilah bahwa setiap perbuatan akan selalu disertai resiko dan tanggungjawab dan fanatisme hanya akan merugikan diri sendiri dan orang lain.
sekian.

Jumat, 12 April 2013

New Blog

hello, everyone! :D
I made a new blog. This is gonna be my art blog.
please kindly visit lupitagallery.blogspot.com
thank you! :D

Selasa, 11 Desember 2012

Moral, Agama, dan Pendidikan

Akhir-akhir ini banyak sekali orang berbicara tentang moral. Mulai dari kaum agamawan hingga para akademisi, mulai dari masyarakat hingga anggota dewan yang terhormat. Sebenarnya siapakah moral itu? Dari manakah lahirnya?
Moral berasal dari bahasa latin, mores yang artinya adalah tata cara, kebiasaan, dan adat. Untuk itu, nilai-nilai moral sangat subjektif tergantung tempat di mana nilai-nilai moral itu berkembang. So, dari manakah moral itu berkembang? Moral berkembang seiring dengan perkembangan usia, perasaan, dan perilaku manusia. perkembangan moral memiliki dimensi intrapersonal (nilai-nilai dasar seseorang dan kesadaran akan diri), serta dimensi interpersonal (apa yang seseorang harus lakukan bila berinteraksi dengan orang lain). (King, 2008).
Jika berbicara perkembangan, maka kita harus merujuk pada dua buah kutub dalam perkembangan, yaitu nature dan nurture. Segala sistem kognitif dan persepsi yang ada di dalam otak kita sekarang adalah hasil dari perpaduan perkembangan secara biologis di dalam otak, serta bentukan dari interaksi kita dengan lingkungan. Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg membuat studi untuk menemukan konsep perkembangan moral tersebut. Pada tahun 1958, Kohlberg memulai studinya mengenai moral dengan membuat 11 buah cerita dilematis, dan menanyakan pendapat mengenai cerita tersebut kepada anak-anak, remaja, dan orang-orang dewasa. (King, 2008).
Dari hasil penelitian, Kohlberg akhirnya merumuskan 3 buah level moral. Masing-masing level tersebut memiliki 2 tingkatan, sehingga seluruhnya ada 6 buah tingkatan moral.
Yang pertama adalah level 1 yang disebut sebagai preconventional level. Pada tingkat ini, moral ditentukan oleh sistem reward (stage 1) dan punishment (stage 2). Jadi, seseorang melakukan tindakan moral berdasarkan untuk mendapatkan hadiah atau menghindari hukuman. (King, 2008). Replika paling tepat untuk sistem moral ini adalah sistem moral para agamawan mengenai surga dan neraka. Manusia melakukan tindakan berdasarkan keinginan untuk masuk surga dan takut untuk masuk neraka.
Yang kedua adalah level 2 atau disebut dengan conventional level. Pada stage 3 level ini, seseorang melakukan tindakan moral berdasarkan ajaran-ajaran yang diajarkan oleh keluarga di rumah. Pada tingkatan ini, biasanya seorang anak banyak berbicara mengenai kata mama, kata papa, kata kakak, atau kata pembantunya (anak-anak sekarang lebih dekat dengan pembantu dibandingkan orangtuanya). Stage 4 pada level ini berkembang dari nilai-nilai moral dalam keluarga menjadi nilai-nilai moral di lingkungan setempat. Ketika anak telah menjabarkan pergaulannya ke luar seperti sekolah dan lingkungan rumah, mereka belajar mengenai hukum, hak, dan kewajiban. Sistem moral seperti ini diterapkan dalam pendidikan yaitu Pendidikan Kewarganegaraan atau PPKn atau PKn dalam sekolah-sekolah.
Yang terakhir adalah level 3 atau postconventional. Ini adalah tingkatan moral yang paling tinggi. Pada tingkatan ini, seseorang telah mempertimbangkan mengenai nilai-nilai kemanusiaan. Stage 5 pada level ini adalah mirip seperti tahap adaptasi, seseorang mulai mempertimbangkan mengenai nilai-nilai kemanusiaan terhadap hukum yang diterapkan oleh negara dan lingkungan. Pada stage 6 yaitu tingkatan yang terakhir, seseorang menentukan moral berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Ketika dihadapkan pada sebuah dilema, individu tersebut akan mempertimbangkan dari segala sisi, seperti hukum, kesadaran, dan hak-hak pribadi. Nilai-nilai kemanusiaan ini akan berkembang dengan sendirinya seiring individu tersebut dewasa, tentunya dengan bantuan interaksi antara lingkungan dan pendidikan yang tepat dan objektif.
Menurut artikel Kompas pada tanggal 5 Desember 2012, pada tahun 2013 akan diadakan penambahan pendidikan agama untuk memperkuat karakter siswa. Padahal sistem moral yang diajarkan oleh agama ada pada tingkatan paling bawah, yaitu level 1, stage 1 dan 2. Jadi, mau dibawa ke manakah moral bangsa Indonesia? Silakan anda sendiri yang menilai.

Senin, 24 September 2012

Perempuan Bekerja, Mengapa Tidak?

ketika mendengar kata perempuan apa yang terlintas di kepala rata-rata masyarakat Indonesia?
feminin?
keluarga?
anak?
paradigma-paradigma seperti itu masih menghantui masyarakat bahkan di dunia modern seperti ini.
apakah salah? tentu saja tidak.
di sini kita tidak berbicara mengenai salah atau benar.
ini adalah pilihan dan jalan hidup masing-masing manusia.
namun perlu dilihat, bahwa tidak semua perempuan "merdeka" dengan pilihannya sendiri untuk bekerja.
alasan "kodrat", suami, perintah orang tua dan keluarga seringkali menjadi hambatan dalam perempuan untuk meniti karirnya.
ditambah lagi excuse yang biasanya mengekor perjalanan hidup perempuan seperti nyeri haid dan kehamilan.
perusahaan-perusahaan seringkali kurang melakukan perlindungan terhadap hak-hak perempuan.
Uang dan profit berbicara lebih keras dibandingkan undang-undang yang seharusnya berfungsi untuk melindungi hak-hak perempuan.
apakah hal-hal tersebut layak dijadikan alasan untuk penghambat karir perempuan?
faktanya, perubahan zaman menuntut perempuan untuk mandiri.
kemandirian yang dimiliki oleh perempuan dapat menambah kepercayaan diri dan harga diri.
so, perempuan bekerja? mengapa tidak?

Senin, 28 Mei 2012

Korupsi, Munafik, dan Psikologi Sosial


Mengutip statusnya guru gw waktu masih SMA di Yogyakarta “Korupsi mengapa berbaju kemunafikan? Beraksi cari muka” terus gw menyahut “Saya bisa jelaskan itu status. Mau pake teori yang mana?” haha.. sombong sekali ya keliatannya. Sombong dikit bolehlah, kuliah mahal, susah-susah jadi dimaafkan lah ya kalo sombong sedikit.
Masih inget sama kasus Nazaruddin? Nazaruddin menjadi tersangka kasus korupsi proyek Hambalang, kemudian tersangka menjadi meleber ke mana-mana termasuk Angelina Sondakh dan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum.
Menurut studi yang dilakukan oleh Muzafer Sheriff tahun 1930an tentang konformitas (dikutip dalam Myers, 2010) manusia cenderung berpendapat sesuai dengan norma-norma sosial. Dalam studi tersebut ditemukan bahwa individu cenderung mempertimbangkan apa yang menjadi pendapat lain, dapat dikatakan bahwa individu tidak mau sendirian. Hal ini yang mendasari mengapa kasus korupsi cenderung terungkap secara beruntun seperti efek domino. Rasa bersalah ketika ketahuan melakukan korupsi di depan publik (apalagi efek media yang memperolok mereka seolah mereka dalah orang yang amat jahat) menjadi lebih ringan dan melegakan ketika diketahui bahwa terdapat orang lain yang mengalami hal yang sama.
Studi-studi yang hampir serupa juga diadakan oleh Solomon Asch dan Stanley Milgram (dikutip dalam Myers, 2010). Asch melakukan studi mengenai konformitas, sedangkan Milgram berhasil membuktikan bahwa 65 persen partisipan dalam studinya tetap patuh pada otoritas bahkan ketika perintah itu bertentangan dengan hati nurani mereka.
Ketiga studi tentang konformitas dan kepatuhan di atas dapat menjadi refleksi mengapa korupsi amat sulit dipatahkan. Faktor situasi dan keadaan di dalam pemerintah tidak memungkinkan bahkan kader-kader yang bersih untuk tidak bertindak kotor. Ketika ada kader muda yang masuk dan ingin mencoba menjadi bersih, mereka dengan terpaksa akan patuh dan konform kepada politisi-politisi senior di dalam insititusi.
Kemudian yang tidak lebih baik adalah masalah masalah kemunafikan. Banyak politisi-politisi menggunakan jubah agama dan nilai-nilai budaya sebagai pelindung citra diri mereka di hadapan publik. Ini adalah sebuah usaha untuk menciptakan persepsi positif di hadapan publik atau istilahnya dalam psikologi sosial adalah self-presentation (Myers, 2010). Menurut teori atribusi, manusia cenderung menilai seseorang melalui atribut-atribut yang dimiliki orang lain, misalnya dari perilakunya, dari tampilannya, atau dari cara bicaranya. Hal ini membuat politisi berlomba-lomba mengumbar nilai-nilai agama dan budaya sebagai atribut mereka dan menunjukkan sikap yang positif terhadap nilai-nilai tersebut.
Hal ini menjadi salah kaprah ketika ditemukan oleh Daniel Batson (dikutip dalam Myers, 2010) dalam penelitiannya bahwa sikap (penilaian pro dan kontra terhadap sesuatu hal) tidak menentukan perilaku seseorang. Batson menyebut fenomena ini dengan istilah moral hipocrisy. Hmm.. paradoks yang memuakkan, ya? Seperti pepatah, jangan menilai buku dari sampulnya, ada benarnya juga.
Merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa sistem pendidikan dan sistem moral di Indonesia memang belum tepat sasaran dan efisien. Gw sendiri amat sangat mendukung sekularisme dan revolusi kepemimpinan politik. Secepatnya masyarakat harus sadar kalau ada yang salah di sistem pendidikan dan politik di Indonesia ini, jangan cuma angguk-angguk kepala kayak kerbau yang dicucuk hidungnya. Kalau negara ini hilang di kemudian hari, siapa yang mau bertanggungjawab?