life. art. crazy mind. whatever

Kamis, 18 April 2013

Terorisme; Kok Bisa Ya?


Ledakan besar di Boston yang memakan korban sekitar 3 orang tewas dan 170 lainnya luka pada Senin, 15 April 2013 lalu membuktikan masih maraknya terorisme di dunia. (okezone.com)
ketika seseorang mendengar kata 'teroris', maka pertanyaan yang muncul adalah, "kok bisa ya?" atau "tega-teganya ya dia melakukan hal semacam itu, padahal orang-orang yang dibunuh kan tidak berdosa."
jika menilik dari sisi psikologi manusia, jawabnya adalah: tentu saja bisa.
salah satu kecenderungan manusia yang dibahas dalam psikologi yaitu adalah kepatuhan atau obedience. kepatuhan (dikutip dalam Myers, 2010) adalah perilaku yang dilakukan berdasarkan perintah.
sebuah penelitian yang menarik dilakukan oleh Stanley Milgram (dikutip dalam Myers, 2010). Dilatar belakangi oleh rasa penasaran oleh bagaimana tentara Nazi membunuh warga tak berdosa, Milgram ingin melihat seberapa patuh seseorang terhadap figur otoritas untuk melakukan suatu perbuatan, bahkan ketika perbuatan itu melawan hati nurani orang tersebut.
Milgram mengumpulkan 2 relawan untuk melakukan eksperimen. relawan A diperintahkan untuk membacakan soal-soal kepada relawan B. bila salah menjawab, relawan A akan menekan tombol, yang mana adalah tombol setrum yang akan menyetrum relawan B. tombol tersebut dipasangi setrum dari 15 volt, 30 volt, 45 volt, dan terus meningkat setiap relawan B melakukan kesalahan hingga 450 volts. relawan B terus menerus melakukan kesalahan hingga berteriak kesakitan.
Milgram melakukan eksperimen ini terhadap 110 orang dan hasilnya 65 persen dari peserta mampu bertahan hingga mencapai bagian 450 volts.
lucunya, sebelum melakukan eksperimen, Milgram menanyakan seberapa jauh mereka mampu patuh, mereka menjawab hanya akan patuh hingga 130 volts, selebihnya tidak mungkin! Milgram menyebut hal ini sebagai moral hipocrisy , yaitu di mana seseorang menganggap dirinya baik dan bermoral di hadapan orang lain.
dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk patuh terhadap figur otoritas(figur otoritas tidak selalu manusia, dapat berupa doktrin, ajaran, dan lain-lain).
Menurut pengamatan saya, kepatuhan-kepatuhan yang dimiliki oleh manusia merupakan perilaku yang dipelajari sejak kecil. Anak-anak dengan polosnya akan patuh keapda orangtuanya dan gurunya di sekolah melebihi siapapun. dengan mengikuti kata-kata orangtua atau gurunya, seorang anak akan merasa "benar" dan nyaman. rasa nyaman yang dimiliki oleh anak ini terkadang terus muncul hingga dewasa.
Manusia memiliki kecenderungan untuk "malas" bertanggungjawab dan cenderung menyalahkan figur otoritas dalam melakukan perbuatan-perbuatan, bahkan yang mengingkari hati nuraninya sekalipun.
nah, hal inilah yang mendasari orang-orang seperti teroris (menurut Sarlito Sarwono teroris tidak memiliki gejala psikopat) dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang melampaui kemanusiaan.
doktrin-doktrin agama, doktrin figur yang dipuja-puja dapat menimbulkan fanatisme dan kebencian sehingga seorang teroris mampu meledakkan bom yang menewaskan banyak orang dan tetap merasa "saya benar" atau "saya akan mendapatkan pahala" berdasarkan agama saya, atau berdasarkan ajaran guru saya.
Untuk menghindari hal-hal seperti di atas, perlu ditumbuhkan sikap kritis dan tanggungjawab. Sadarilah bahwa setiap perbuatan akan selalu disertai resiko dan tanggungjawab dan fanatisme hanya akan merugikan diri sendiri dan orang lain.
sekian.

Jumat, 12 April 2013

New Blog

hello, everyone! :D
I made a new blog. This is gonna be my art blog.
please kindly visit lupitagallery.blogspot.com
thank you! :D

Selasa, 11 Desember 2012

Moral, Agama, dan Pendidikan

Akhir-akhir ini banyak sekali orang berbicara tentang moral. Mulai dari kaum agamawan hingga para akademisi, mulai dari masyarakat hingga anggota dewan yang terhormat. Sebenarnya siapakah moral itu? Dari manakah lahirnya?
Moral berasal dari bahasa latin, mores yang artinya adalah tata cara, kebiasaan, dan adat. Untuk itu, nilai-nilai moral sangat subjektif tergantung tempat di mana nilai-nilai moral itu berkembang. So, dari manakah moral itu berkembang? Moral berkembang seiring dengan perkembangan usia, perasaan, dan perilaku manusia. perkembangan moral memiliki dimensi intrapersonal (nilai-nilai dasar seseorang dan kesadaran akan diri), serta dimensi interpersonal (apa yang seseorang harus lakukan bila berinteraksi dengan orang lain). (King, 2008).
Jika berbicara perkembangan, maka kita harus merujuk pada dua buah kutub dalam perkembangan, yaitu nature dan nurture. Segala sistem kognitif dan persepsi yang ada di dalam otak kita sekarang adalah hasil dari perpaduan perkembangan secara biologis di dalam otak, serta bentukan dari interaksi kita dengan lingkungan. Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg membuat studi untuk menemukan konsep perkembangan moral tersebut. Pada tahun 1958, Kohlberg memulai studinya mengenai moral dengan membuat 11 buah cerita dilematis, dan menanyakan pendapat mengenai cerita tersebut kepada anak-anak, remaja, dan orang-orang dewasa. (King, 2008).
Dari hasil penelitian, Kohlberg akhirnya merumuskan 3 buah level moral. Masing-masing level tersebut memiliki 2 tingkatan, sehingga seluruhnya ada 6 buah tingkatan moral.
Yang pertama adalah level 1 yang disebut sebagai preconventional level. Pada tingkat ini, moral ditentukan oleh sistem reward (stage 1) dan punishment (stage 2). Jadi, seseorang melakukan tindakan moral berdasarkan untuk mendapatkan hadiah atau menghindari hukuman. (King, 2008). Replika paling tepat untuk sistem moral ini adalah sistem moral para agamawan mengenai surga dan neraka. Manusia melakukan tindakan berdasarkan keinginan untuk masuk surga dan takut untuk masuk neraka.
Yang kedua adalah level 2 atau disebut dengan conventional level. Pada stage 3 level ini, seseorang melakukan tindakan moral berdasarkan ajaran-ajaran yang diajarkan oleh keluarga di rumah. Pada tingkatan ini, biasanya seorang anak banyak berbicara mengenai kata mama, kata papa, kata kakak, atau kata pembantunya (anak-anak sekarang lebih dekat dengan pembantu dibandingkan orangtuanya). Stage 4 pada level ini berkembang dari nilai-nilai moral dalam keluarga menjadi nilai-nilai moral di lingkungan setempat. Ketika anak telah menjabarkan pergaulannya ke luar seperti sekolah dan lingkungan rumah, mereka belajar mengenai hukum, hak, dan kewajiban. Sistem moral seperti ini diterapkan dalam pendidikan yaitu Pendidikan Kewarganegaraan atau PPKn atau PKn dalam sekolah-sekolah.
Yang terakhir adalah level 3 atau postconventional. Ini adalah tingkatan moral yang paling tinggi. Pada tingkatan ini, seseorang telah mempertimbangkan mengenai nilai-nilai kemanusiaan. Stage 5 pada level ini adalah mirip seperti tahap adaptasi, seseorang mulai mempertimbangkan mengenai nilai-nilai kemanusiaan terhadap hukum yang diterapkan oleh negara dan lingkungan. Pada stage 6 yaitu tingkatan yang terakhir, seseorang menentukan moral berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Ketika dihadapkan pada sebuah dilema, individu tersebut akan mempertimbangkan dari segala sisi, seperti hukum, kesadaran, dan hak-hak pribadi. Nilai-nilai kemanusiaan ini akan berkembang dengan sendirinya seiring individu tersebut dewasa, tentunya dengan bantuan interaksi antara lingkungan dan pendidikan yang tepat dan objektif.
Menurut artikel Kompas pada tanggal 5 Desember 2012, pada tahun 2013 akan diadakan penambahan pendidikan agama untuk memperkuat karakter siswa. Padahal sistem moral yang diajarkan oleh agama ada pada tingkatan paling bawah, yaitu level 1, stage 1 dan 2. Jadi, mau dibawa ke manakah moral bangsa Indonesia? Silakan anda sendiri yang menilai.

Senin, 24 September 2012

Perempuan Bekerja, Mengapa Tidak?

ketika mendengar kata perempuan apa yang terlintas di kepala rata-rata masyarakat Indonesia?
feminin?
keluarga?
anak?
paradigma-paradigma seperti itu masih menghantui masyarakat bahkan di dunia modern seperti ini.
apakah salah? tentu saja tidak.
di sini kita tidak berbicara mengenai salah atau benar.
ini adalah pilihan dan jalan hidup masing-masing manusia.
namun perlu dilihat, bahwa tidak semua perempuan "merdeka" dengan pilihannya sendiri untuk bekerja.
alasan "kodrat", suami, perintah orang tua dan keluarga seringkali menjadi hambatan dalam perempuan untuk meniti karirnya.
ditambah lagi excuse yang biasanya mengekor perjalanan hidup perempuan seperti nyeri haid dan kehamilan.
perusahaan-perusahaan seringkali kurang melakukan perlindungan terhadap hak-hak perempuan.
Uang dan profit berbicara lebih keras dibandingkan undang-undang yang seharusnya berfungsi untuk melindungi hak-hak perempuan.
apakah hal-hal tersebut layak dijadikan alasan untuk penghambat karir perempuan?
faktanya, perubahan zaman menuntut perempuan untuk mandiri.
kemandirian yang dimiliki oleh perempuan dapat menambah kepercayaan diri dan harga diri.
so, perempuan bekerja? mengapa tidak?

Senin, 28 Mei 2012

Korupsi, Munafik, dan Psikologi Sosial


Mengutip statusnya guru gw waktu masih SMA di Yogyakarta “Korupsi mengapa berbaju kemunafikan? Beraksi cari muka” terus gw menyahut “Saya bisa jelaskan itu status. Mau pake teori yang mana?” haha.. sombong sekali ya keliatannya. Sombong dikit bolehlah, kuliah mahal, susah-susah jadi dimaafkan lah ya kalo sombong sedikit.
Masih inget sama kasus Nazaruddin? Nazaruddin menjadi tersangka kasus korupsi proyek Hambalang, kemudian tersangka menjadi meleber ke mana-mana termasuk Angelina Sondakh dan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum.
Menurut studi yang dilakukan oleh Muzafer Sheriff tahun 1930an tentang konformitas (dikutip dalam Myers, 2010) manusia cenderung berpendapat sesuai dengan norma-norma sosial. Dalam studi tersebut ditemukan bahwa individu cenderung mempertimbangkan apa yang menjadi pendapat lain, dapat dikatakan bahwa individu tidak mau sendirian. Hal ini yang mendasari mengapa kasus korupsi cenderung terungkap secara beruntun seperti efek domino. Rasa bersalah ketika ketahuan melakukan korupsi di depan publik (apalagi efek media yang memperolok mereka seolah mereka dalah orang yang amat jahat) menjadi lebih ringan dan melegakan ketika diketahui bahwa terdapat orang lain yang mengalami hal yang sama.
Studi-studi yang hampir serupa juga diadakan oleh Solomon Asch dan Stanley Milgram (dikutip dalam Myers, 2010). Asch melakukan studi mengenai konformitas, sedangkan Milgram berhasil membuktikan bahwa 65 persen partisipan dalam studinya tetap patuh pada otoritas bahkan ketika perintah itu bertentangan dengan hati nurani mereka.
Ketiga studi tentang konformitas dan kepatuhan di atas dapat menjadi refleksi mengapa korupsi amat sulit dipatahkan. Faktor situasi dan keadaan di dalam pemerintah tidak memungkinkan bahkan kader-kader yang bersih untuk tidak bertindak kotor. Ketika ada kader muda yang masuk dan ingin mencoba menjadi bersih, mereka dengan terpaksa akan patuh dan konform kepada politisi-politisi senior di dalam insititusi.
Kemudian yang tidak lebih baik adalah masalah masalah kemunafikan. Banyak politisi-politisi menggunakan jubah agama dan nilai-nilai budaya sebagai pelindung citra diri mereka di hadapan publik. Ini adalah sebuah usaha untuk menciptakan persepsi positif di hadapan publik atau istilahnya dalam psikologi sosial adalah self-presentation (Myers, 2010). Menurut teori atribusi, manusia cenderung menilai seseorang melalui atribut-atribut yang dimiliki orang lain, misalnya dari perilakunya, dari tampilannya, atau dari cara bicaranya. Hal ini membuat politisi berlomba-lomba mengumbar nilai-nilai agama dan budaya sebagai atribut mereka dan menunjukkan sikap yang positif terhadap nilai-nilai tersebut.
Hal ini menjadi salah kaprah ketika ditemukan oleh Daniel Batson (dikutip dalam Myers, 2010) dalam penelitiannya bahwa sikap (penilaian pro dan kontra terhadap sesuatu hal) tidak menentukan perilaku seseorang. Batson menyebut fenomena ini dengan istilah moral hipocrisy. Hmm.. paradoks yang memuakkan, ya? Seperti pepatah, jangan menilai buku dari sampulnya, ada benarnya juga.
Merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa sistem pendidikan dan sistem moral di Indonesia memang belum tepat sasaran dan efisien. Gw sendiri amat sangat mendukung sekularisme dan revolusi kepemimpinan politik. Secepatnya masyarakat harus sadar kalau ada yang salah di sistem pendidikan dan politik di Indonesia ini, jangan cuma angguk-angguk kepala kayak kerbau yang dicucuk hidungnya. Kalau negara ini hilang di kemudian hari, siapa yang mau bertanggungjawab?

Minggu, 01 April 2012

Belajar atau Menghafal??



Apa itu belajar? Mungkin sebagian besar umat manusia masih berpikir bahwa belajar adalah membaca, menghafal, lalu akan ada ujian. Well, saya dulu juga memiliki bayangan yang sama. Ibu saya orang yang menomor satukan belajar. Dulu, ketika saya masih di Sekolah Dasar, beliau bahkan tidak mau menandatangani buku belajar saya, hanya karena saya tidak melakukan aktifitas membaca di luar jam les. Bayangkan saja, 6 jam sekolah, ditambah 2 jam les, bahkan beberapa hari bisa lebih. saya mesti belajar lagi??? Saya dilarang membeli buku-buku novel remaja, kecuali buku pelajaran sekolah. Untung saja masih bisa baca majalah. Saya marah, kesal, benci dengan yang namanya belajar. Apalagi banyak mata pelajaran yang saya anggap tidak berguna untuk cita-cita saya. Toh, sekarang sudah lupa (karena dulu hanya menghafal). Setelah kuliah, perspektif saya tentang belajar mulai berubah. belajar lebih sederhana dan menyenangkan dari membaca dan menghafal.
Apakah belajar?
Para psikolog memiliki pengertiannya sendiri mengenai proses belajar. Kaum behavioris, menekankan proses belajar pada perubahan perilaku seseorang atas hadirnya stimulus-stimulus yang muncul dari lingkungan. Seperti Burrhus F. Skinner (dikutip dalam Hergenhahn & Olson, 2004) misalnya. Skinner mengemukakan dua tipe perilaku yaitu perilaku responden dan operan. Perilaku responden adalah di mana perilaku seseorang dihasilkan dari stimulus oleh lingkungan, sebaliknya, operan berarti organisme yang menimbulkan stimulus tersebut.
Kaum sosial-kognitif memiliki pandangan yang sedikit berbeda. Mereka berpendapat bahwa lingkungan sosial serta fungsi-fungsi kognitif manusia berinteraksi untuk menghasilkan perilaku atau kepribadian baru. Salah satu tokoh yang terkenal dari kaum sosial-kognitif adalah Albert Bandura (dikutip dalam Feist & Feist, 2009). Bandura memiliki teori di mana lingkungan, perilaku, dan individu sendiri (person) saling berinteraksi untuk mengatur perilaku.
Istilah “belajar” dalam dunia pendidikan dikemukakan oleh Santrock (dikutip dalam Santrock, 2011) yaitu belajar adalah pengaruh yang relatif permanen, meiputi perilaku, pengetahuan, dan kemampuan berpikir, yang muncul setelah serangkaian pengalaman. Jadi, semua hal yang kita pelajari (beberapa perilaku tidak melalui proses belajar seperti menelan, mengedipkan mata, dll) adalah proses belajar.
Belajar, Variasi, dan Kognisi
Setiap individu memiliki kesukaan sendiri dalam belajar. Pada dasarnya, manusia memiliki berbagai macam cara untuk belajar, misalnya secara visual atau dengan melihat, memberi warna pada catatan, secara auditif atau dengan mendengarkan (pernahkah menemui teman yang cepat menghafal hanya dengan mendengarkan temannya berbicara? Teman anda adalah tipe auditif), secara kinestetik atau belajar dengan praktek langsung, motorik (biasanya orang dengan tipe motorik senang belajar sambil jalan-jalan atau sambil bergerak-gerak), atau eidetic yaitu belajar dengan imajinasi.
Proses belajar melibatkan bagaimana manusia mengolah informasi di dalam kognisi. Informasi-informasi yang diolah manusia melalui proses-proses kognisi akan disimpan di dalam memori. Menurut Robert Solso (dikutip dalam Solso, Maclin, & Maclin, 2008) kemampuan memori manusia adalah tidak terbatas. Jadi, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa isi kepala anda penuh, atau tidak muat lagi untuk memasukan infomasi baru ke kepala. Yang ada adalah, anda jenuh karena otak membutuhkan waktu untuk memproses informasi dan melektakkan setiap informasi-informasi ke dalam peta konsep yang benar di dalam kepala anda.
Belajar Dapat Di Mana Saja
Dengan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa belajar dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Apakah itu sambil membaca novel, menonton televisi, bahkan detik-detik sebelum tidur saat anda berpikir mengenai kejadian-kejadian dalam hidup. Belajar bukanlah serta merta menghafal buku teks, karena belajar menuntut perubahan dalam cara berpikir dan berperilaku anda. Untuk itu, buatlah kegiatan belajar anda menyenangkan. Buatlah diri anda penasaran terhadap apa yang ada dan apa yang terjadi dalam dunia ini. Selamat belajar!

Jumat, 02 Desember 2011

Dimensi Kecerdasan


Sewaktu sekolah, nilai matematika saya sering jelek, dan saya menyukai mata pelajaran Bahasa Indonesia. Orang tua saya tidak mengizinkan saya masuk jurusan bahasa ataupun mengambil kuliah jurusan sastra. Sehari-hari kegiatan saya hanya menggambari kertas-kertas kosong di kelas, sampai mendapat teguran guru. Apa yang terjadi? Apakah saya kurang cerdas?
Kecerdasan adalah topik yang pasti akan dibicarakan dalam kehidupan. Selalu ada pertentangan antara anak yang cerdas dan kurang cerdas, tentang sistem ranking, dan tes-tes kecerdasan. Sebenarnya apa sih kecerdasan itu?
Definisi Kecerdasan
Binet dan Simon (dalam Gregory, 2007) mendeskripsikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk menilai, mengerti, dan menalar dengan baik. Wechsler mendeskripsikan kecerdasan sebagai kemampuan global individu untuk bergerak disertai tujuan, berpikir secara rasional, dan berinteraksi dengan baik dengan lingkungan. Thorndike mendeskripsikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk berespon dengan baik dari sudut pandang fakta. Dan masih banyak definisi lainnya mengenai kecerdasan.
Banyak ahli memperdebatkan mengenai definisi kecerdasan. Kecerdasan tidak dapat diukur dari satu sudut pandang saja. Dalam dunia akademik, Santrock (2011) mendeskripsikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan untuk beradaptasi serta belajar dari pengalaman-pengalaman.
Tes-tes Inteligensi
Perdebatan para ahli psikologi mengenai ukuran kecerdasan menghasilkan alat ukur berupa tes-tes inteligensi. Salah satu alat tes IQ (Intelligence Quotient) yang sering digunakan adalah alat tes milik Wechsler. Jumlah satuan IQ yang muncul biasanya antara 90-109 untuk anak yang memiliki kecerdasan rata-rata. Apakah alat tes IQ menjadi satu-satunya alat ukur kecerdasan? Tentu saja tidak. Jangan cemas jika anda mendapatkan skor yang rendah atau biasa saja dalam tes-tes IQ. Alat tes IQ hanya mengukur kecerdasan manusia untuk keperluannya di bidang akademik, sedangkan kecerdasan manusia adalah konsep yang luas cakupannya.
Jenis-jenis kecerdasan
Persepsi bahwa kepintaran hanya milik dokter, ahli matematika, atau arsitek harus dibuang jauh-jauh. Faktanya, setiap individu memiliki kecerdasan dan keunikannya masing-masing. Beberapa ahli mengemukakan jenis-jenis kecerdasan yang ada pada manusia.
Cattel, Horn, dan Carrol (dalam Gregory, 2007) mengemukakan dua jenis inteligensi manusia yaitu fluid dan crystalized intelligence. Fluid intelligence adalah kecerdasan yang meliputi hal-hal seperti menggambar, membentuk konsep, membuat hipotesis, serta kemampuan menalar secara induktif maupun deduktif. Kecerdasan ini umumnya bersifat nonverbal dan sangat sedikit pengaruh budaya di dalamnya. Sebaliknya, crystalized intelligence adalah inteligensi seseorang mengenai budaya setempat. Kecerdasan ini umumnya berbentuk verbal. (Gregory, 2007).
Robert J. Sternberg (dalam King, 2006) mengemukakan tentang Triarchic Theory of Intelligence. Sternberg membagi kecerdasan dalam tiga bentuk yaitu kecerdasan analitis, kreatif, dan praktis. Keccerdasan analitis adalah kemampuan untuk menganalisis, memilih, mengevaluasi, membandingkan, dan mengkontras. Kecerdasan kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan, mendesain, memajukan, orisinalitas, dan imajinasi. Yang terakhir, kecerdasan praktis adalah kemampuan untuk menggunakan, mengaplikasikan, mengimplementasi, dan mempraktikkan ide-ide. Ketiga jenis inteligensi ini tidak bersifat sendiri-sendiri namun bercampur. Setiap individu dapat memiliki inteligensi yang lebih dominan pada dirinya.
Salah satu teori tentang multiple intelligence yang terkenal adalah delapan dimensi kecerdasan menurut Howard Gardner. Gardner (dalam Santrock, 2011) mengemukakan mengenai delapan jenis inteligensi.
1. Verbal skills yaitu kemampuan untuk berpikir ke dalam kata-kata dan menggunakan bahasa untuk mengekspresikan diri. Pemilik kecerdasan ini dapat menjadi penulis, jurnalis, atau pembicara.
2. Mathematical skills yaitu kemampuan untuk mengoperasikan bentuk-bentuk matematis. Pemilik kecerdasan ini dapat menjadi akuntan, ahli mesin, atau ilmuwan.
3. Spatial skills yaitu kemampuan untuk berpikir dalam bentuk tiga dimensi. Pemilik kecerdasan ini dapat menjadi arsitek, pilot, dan pelukis.
4. Bodily-kinesthetic skills yaitu kemampuan untuk memanipulasi objek dan mahir menggerakkan fisik. Pemilik kecerdasan ini dapat menjadi atlit, penari, atau ahli bedah.
5. Musical skills yaitu sensitivitas seseorang terhadap unsur-unsur suara. Pemilik kecerdasan ini dapat menjadi pemusik dan terapis musikal.
6. Intrapersonal skills yaitu kemampuan untuk mengerti akan dirinya sendiri dan secara efektif mengatur hidup sendiri. Pemilik kecerdasan ini biasanya adalah orang-orang teologi dan psikolog.
7. Interpersonal skills yaitu kemampuan untuk mengerti orang lain dan secara efektif berinteraksi dengan orang lain. Pemilik kecerdasan ini dapat menjadi guru.
8. Naturalist skills yaitu kemampuan untuk mengobservasi pola-pola alam dan mengerti alam. Pemilik kecerdasan ini dapat menjadi petani, ahli botani, atau ekolog.
Kecerdasan dan minat
Perbedaan kecerdasan pada masing-masing individu akan menumbuhkan minat yang berbeda-beda pada inividu yang bersangkutan. Jadi, jangan cemas jika anda tidak pandai matematika atau biologi, siapa tahu anda berbakat untuk menjadi penyanyi atau atlit?